Sekelebat Cerpen | Pada Awalnya Bejo (6)
Pasar Karangketug pagi-pagi sudah ramai. Ramai bukan karena banyak pembeli. Tapi ramai karena para pedagangnya berkerumun memperbincangkan meninggalnya Ibu Wilujeng, istrinya Pak Slamet.
" Meninggal karena apa?"
"Tidak tahu".
"Ini saya barusan dapat kabar, meninggalnya sehabis sholat subuh tadi, tapi katanya tanpa tanda-tanda sakit".
"Iya, kemarin sore juga masih kelihatan sehat dan semangat sekali melayani para pembeli mracangannya".
Sementara pemilik tetangga warung Ibu Wilujeng menimpali, " ia sempat bilang ke saya katanya kangen banget sama anak bungsunya yang bernama Syukur".
" Kemana ya Bu, kok Syukur lama nggak kelihatan?".
Tema pembicaraannya bergeser tentang Syukur.
"Loh, belum tahu ta, kalau Syukur sekarang sudah tak di sini lagi; dipupu sahabat karibnya Pak Slamet di Suryalaya".
" Sudah dikabari belum kalau Ibunya meninggal?"
"Ya pasti sudah, mosok anak kandungnya nggak dikabari?!".
Kemudian ada satu orang yang coba mengingatkan.
" Ayo-ayo daripada ngobrol di sini, kita takziah bareng ke rumah Ibu Wilujeng".
"Akan dikuburkan jam berapa?".
Tak ada yang bisa menjawab.
Pasar Karangketug tiba-tiba sejenak senyap.
Senyap dalam duka sahabat-sahabat pedagang pasar.
Tapi barangkali ada gemuruh riuh dalam dialog batinnya masing-masing: kapan gilirannya untuk menyusul ke alam sana?
(pada awalnya bejo (6), 2023)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara yang sederhana untuk menceritakan tentang Pada Awalnya Bejo (6). Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H