Ini Bukan Puisi (2)
ada satu yang kocak
dari logika kakak
yang bikin ngakak
namun setelah dijelaskan
ternyata ada benarnya juga
begini permulaan ceritanya:
di kampung halaman saya, desa pekajangan
kabupatennya pekalongan, saya dan kakak
terlibat dalam perbuatan yang namanya:
begadang bareng kakak
entah tak sengaja ataukah sudah direncana
tiba-tiba kakak memberikan kepada saya:
satu tebak-tebakan, yang bagi saya
kerasa mudah banget pertanyaannya:
mBang, apa penyangganya kepala kita?
tanpa pikir panjang saya jawab: leher!!
kakak ketawa sambil bilang: salah!!
sambil menyisipkan kritikan tentang cara berpikir saya
yang katanya belum benar-benar merdeka dari kerangka
kacamata kuda anak sekolah
lanjut,
karena saya malas cari jawaban lainnya
maka saya katakan bahwa saya menyerah
tanda agar kakakku bisa secepatnya
menunjukkan jawaban yang benar
lanjut cerita,
di tengah-tengah ketawanya yang masih belum selesai
kakakku membalas begini: yang benar, mata, mBang!!
loh, kok mata??, saya protes karena tak setuju
setelah dibiarkan hening sejenak,
lantas kakakku membalas lagi:
mBang, coba dipikir ya...
ketika kamu ngantuk atau saat kamu sedang tidur,
apakah lehermu masih berdaya untuk menyangga
beban kepalamu?
saya jawab: tidak berdaya, kak
nah, mBang, berarti sekarang kamu sudah setuju ya
bahwa penyangga sejati kepala kita bukanlah leher
tapi: mata!!
kemudian kakakku melanjutkan lagi sisa ketawanya yang belum selesai
atau lebih tepatnya dalam tanda kutip, kakak melanjutkan "ejekannya"
yang masih belum selesai...qqqqqq
setelah alasannya itu saya pikir memang rada nyambung,
akhirnya, saya pun ikutan ngakak bareng kakak...wakakakakakak
(Isiup, 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H