Lihat ke Halaman Asli

Bambang Syairudin

(Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

Monolog 6: Kehilangan

Diperbarui: 31 Mei 2021   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

Monolog 6: Kehilangan

Anakku, pernahkah engkau merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirimu ?
Atau engkau merasakan ada sesuatu yang hilang dari sekelilingmu ?, atau sekelilingmu menjadi asing akan keberadaanmu ? atau seseorang merasakan kehilangan dirimu ?

Untuk menjawab pertanyaan itu, engkau semestinya bertanya pada dirimu sendiri apakah engkau merasa telah memiliki ? Karena jika engkau telah merasa memiliki, tentunya engkau akan merasa kehilangan. Sebaliknya jika engkau tidak pernah merasa memiliki, maka tidaklah mungkin engkau akan pernah merasa kehilangan. Seseorang tidak akan merasa kehilangan sesuatu, jika orang tersebut tidak memiliki sesuatu tersebut, anakku. Sekarang, cobalah jawab pertanyaan di atas tadi, anakku.

Anakku, jika engkau merasa memiliki, apa buktinya engkau memiliki.
Apa hakekatnya engkau memiliki ?
Ketahuilah, anakku, hakekat memiliki adalah sama dengan hakekat perjumpaan, bukan realitas perpisahan; bukanlah pula merupakan hakekat pertamuan (" kelahiran "). Hakekat memiliki sama dengan hakekat tidak memiliki apa-apa, alias kosong. Kosong artinya tiada dimensi ruang waktu, juga tanpa isi. Jadi, hakekat kehilangan, anakku adalah masih sama dengan hakekat garis sekaligus lingkaran, padanya realitas nisbi akan terjadi. Susah senang, sedih dan gembira akan menjadi ada. Ada dalam bentuk gelombang yang pasang dan yang surut.

Fia, anakku, dalam realitas dunia, suatu saat nanti, barangkali engkau akan merasa kehilangan ibumu, dan ayahmu, demikian juga ayahmu dan ibumu juga akan merasakan kehilanganmu. Ketika engkau jauh dari sisiku, atau sisi ibumu, aku dan ibumu akan merasa kehilanganmu, sayang. Hal ini kelak akan engkau alami pula terhadap anak-anakmu, suamimu, dan terhadap segala sesuatu yang engkau merasa memilikinya, yang engkau merasa mencintainya. Tapi, anakku, adakah engkau pernah merasa kehilangan Tuhanmu ? ataukah engkau pernah menduga bahwa Tuhan juga akan merasa kehilanganmu ? Jika engkau jawab pernah merasa kehilangan Tuhan, tidak berarti Tuhan tidak ada,anakku. Tapi itu hanya berarti bahwa engkau pernah merasa memiliki Tuhan. Dan hakekat rasa memiliki itu pula yang menyebabkan engkau merasa kehilangan. Karena engkau telah memandang Tuhanmu itu dalam hakekat kesadaranmu bukan dengan hakekat perjumpaanmu yang abadi. Dan jika engkau menduga bahwa Tuhanmu akan merasa kehilanganmu. Berarti Tuhanmu, engkau anggap merasa memilikimu; padahal hakekatnya engkau tidak bisa lari dari Tuhanmu. Engkau adalah sesuatu yang selalu tertangkap oleh Tuhanmu, tidak bisa lari, juga tidak bisa memusnahkan diri, anakku.
Anakku, oleh karena itu, mulailah engkau memandang diriku dan ibumu, dalam cara
pandang perjumpaan, bukan dengan cara pandang pertamuan ("kelahiran"). Tanpa ada rasa kehilangan, karena pada hakekatnya engkau tidak akan pernah kehilangan. Antara aku, ibumu, dan engkau senantiasa dalam hakekat perjumpaan. Tidak bisa meniadakan ada. Realitas kesadaranlah yang menyebabkan aku, ibumu, dan engkau akan merasa saling kehilangan.
Karena hakekat rasa kehilangan itu bagaikan lampu yang suatu saat akan padam, menyala, dan padam kembali.

Fia, anakku, ketika engkau belum hadir ditengah-tengah keluargaku, aku dan ibumu, tidak pernah merasa kehilanganmu. Tapi, ketika engkau mulai hadir, aku mulai bertanya-tanya apakah engkau benar-benar milikku, milik ibumu. 

Juga bertanya-tanya apakah engkau milik dirimu sendiri ? Lalu, bertanya-tanya siapakah gerangan engkau ? lalu bertanya-tanya pula siapakah aku ? Dan pantaskah aku mengaku-ngaku bahwa engkau milikku, dan aku milikmu, ibumu milikmu ? Ternyata setelah dengan lama ayahmu renungkan, ujung-ujungnya perenungan itu bersumber pada kesadaranku sendiri. 

Kesadaran semu belaka, anakku. Karena aku tidak bisa senantiasa menangkapmu untuk selalu di sisiku. Bahkan senantiasa tidak akan bisa menyelami pemikiran-pemikiranmu, termasuk kesadaranmu. Karena pada saat itu engkau aku anggap sebagai bagian dari realitas dunia. Ingatlah anakku, bahwa engkau, aku, dan ibumu, sebenarnya bagian dari realitas hakekat perjumpaan abadi tanpa akhir. Realitas hakekat titik, bukan garis, bukan lingkaran. Tetapi realitas pertamuanlah yang menyebabkan seolah-olah kita dalam realitas garis, yang ada pangkal, ada ujungnya, ada pertemuan ada perpisahan, ada tangis, dan ada tawa, serta ada rasa kehilangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline