Monolog 4: Kelahiran
Kelahiran itu mestinya tidak ada. Bagaimana bisa dikatakan lahir, kalau sebelumnya sebenarnya sudah ada. Sudah ada dalam keserentakan penciptaan. Dalam keserentakan perjumpaan. Lebih tepat kalau kita mengatakannya sebagai pertamuan. Karena realitasnya adalah kita bertamu. Yakni bertamu ke dalam dimensi ruang waktu tertentu. Realitas itu yang akhirnya memunculkan beragam atribut, yaitu: anak, ibu, bapak, eyang, eyang buyut, eyang cicit, dan seterusnya.
Anakku, Fia, engkau aku sebut anakku, semata-mata hanyalah atas kemauan realitas semu. Adakah engkau merasakan semunya realitas itu, anakku ? Dalam bahasa hakekat, mestinya tak pantas aku menyebutmu anakku, dan aku ayahmu.
Cobalah, engkau renungkan itu, tanpa harus selalu mengacu pada realitas ruang dan waktu.
Cobalah, hilangkan kesadaranmu dari basis medium ruang-waktu, anakku, niscaya engkau akan mendapati bahwa perjumpaan tidaklah membutuhkan medium ruang-waktu. Karena ia (perjumpaan) hanyalah maha titik, yang tidak membutuhkan jarak start, serta waktu ancang-ancang. Serentak dan abadi.
Jadi, engkau, aku, ibumu, dan saudara-saudaramu itu hakekatnya adalah produk dari keserentakan nan abadi itu. Oleh karenanya hak dan kewajibannya adalah sama. Asasinya adalah sama. Pengalaman semunya juga sama. Merasakan sedih juga merasakan gembira.
Tapi, anakku, karena pertamuanmu kedalam alam real --semu duniawi ini seolah-olah diakibatkan oleh suatu proses biologis, maka kesadaran orang menyebutmu sebagai anakku, karena kelahiranmu itu.
Anakku, Fia, sekali-sekali engkau perlu merenungkan pertamuanmu ini bukan dengan gaya bermenung serial, melainkan paralel, yakni gaya bermenung titik bukan garis, anakku.