(yobenwaeno)
yobenwaeno, tercatat di pintu pintu air ambrol itu
gelontorkan pucatnya deritaku masuk ke lain pintu
menjebol pantulan muka dinding duka bendungan
rautan wajahmu berpendar mengambangkan awan
tengadah memeluk kerambah yang penuh sampah
tlah kusetorkan laporan gempita rubuhnya rinduku
tapi engkau tetap bilang yobenwaeno taruh disono
wajahmu sembunyi dilaci meja tak nongol nongol
tapi tanganmu terus mengontrol jam jam kantor
dan menjilid tumpukan buku buku kumal sore
di antrean panjang sandaran kursi rotan tunggumu
berjajar gemetar kugetarkan cemburu nelongsoku
di sepanjang garis garis kuning tepi bendunganmu
terlihat engkau ngeloyor ke tengah ria berselancar
dan sekali lagi engkau bilang, yobenwaeno
aku tak tahu apa maksudmu menyuruhku
pergi ke tepi bendungan dekat kantormu
padahal di situ tak lagi ada air cintamu
karena sudah terlalu lama
dikeringi oleh terik matamu
diguyur oleh waktu lemburmu
larut dalam kantuk kicau pagi
hari hari tak bermatahari
yobenwaeno
sangat sembrono engkau nyio nyio
sukmajalmaku lontang lantung ngoyoworo
karena tegamu tak segera engkau sudahi sia kanku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H