Sungai dangkal itu mudah meluap. Jika banjir, dampak kerakusan jadi terlihat. Lalu dikatakan bencana. Padahal kita sedang panen perbuatan jahat. Memperkosa alam teramat sangat.
Itu sudah menjadi kebiasaan. Mengatas namakan status penuh kemuliaan. Tapi praktiknya kebalikan.
Lebih mudah menebang, daripada menanam. Alam dijadikan objek kepuasan. Banjir hanyalah urusan resapan. Lalu membiarkan tanah yang menyelesaikan.
Alam tidak bertopeng. Tapi selalu diperlakukan demi citra topeng. Hidup dibuat seakan berdegup. Lalu lebih tertarik untuk mendengarkan detak puncak, tinimbang menerangi lingkungan, demi kelestarian semesta alam. "Urip tan urup". Hidup hanyalah menyebabkan kegelapan.
Topeng Cirebonan pun termangu. Ia melihat kiprah nyata kemunafikan terhadap anugrah alam itu.
Apakah patut meninggalkan beban untuk anak cucu ? Itu nanti akan menjadi saksi bisu. Jika suatu saat nanti terjadi ketidakseimbangan. Lebih banyak keburukan, dibanding kebaikan.
Beban itu jika disunggi di atas kepala, jadi penyebab pening. Kalau diambil alih oleh bahu, hanya sebentar saja mampu.
Saat sekitar tak lagi bahu membahu, berlakulah hukum kerusakan, yang memusnahkan secara pelan-pelan. "Non scholae sid vitae discismus. Nora gelem maneh nyinaoni urip, supaya bisa urup". Belajarlah tentang kelimpah ruahan alam, agar hidup semakin tenteram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H