Kebaikan hati dengan sifat koruptif terkesan nyaman berdampingan. Tetapi di jagad pencitraan segalanya mungkin terjadi. Sama saja kebijaksanaan dan kedunguan. Di sini dan di sana, masing-masing bertujuan. Panas bisa jadi mendahului dingin. Begitu juga sebaliknya.
Orang yang bijaksana itu mengalir mengikuti air. "Ngeli nanging ora keli". Ini bukanlah plin-plan. Karena prinsip utama masih dipegang.
Terkadang sangatlah lurus. Bisa juga menikung, tapi tetap mengapung. Terantuk tebing tidak berpaling. Muara jernih, menjadi tujuan terpenting.
Ibarat warna, kebajikan itu bernuansa putih. Abu-abu hanya pantulannya saja. Hakikat tetap dipegang erat. Berpersepsi baik terhadap segala sesuatu.
Tapi kelengahan pandai menyusup. Hidup yang kotor tetap berdenyut dan berdegup. Kejahatan lebih menarik hati. Karena cepat mendapat hasil, hingga sangat banyak sekali.
Eksistensi dan esensi berbatas kabur. Penuh dengan sedotan asap kenikmatan, yang memenuhi belantara umur. Duri seakan lebih wangi. Padahal tugasnya hanya melindungi.
Proses yang alami itu tidak elok dipakai untuk berakrobat. "Alam kuwi ora ngajari akrobat mlumpat. Natura non facit saltum". Kok ingin cepat dahsyat, dengan cara yang sama sekali tidak terhormat.
Kenikmatan itu enak untuk disedot-sedot. Asapnya lalu dihembuskan ke sekeliling. Tak peduli akan menjadi penyebab sekitarnya pening.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H