Lihat ke Halaman Asli

Bambang Subroto

Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Puisi: Di Stasiun Manakah Kita Nanti Terhenti?

Diperbarui: 19 September 2022   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perjalanan kereta api. Sumber: Shutterstock/Ikhsan Prabowo Hadi via Kompas.com

Di senja tadi, kereta tepat berangkat. Menuju ke kota tujuan. Selimut sudah disiapkan . Tinggal memastikan penjemputan di sana. Badan masih hangat, belum layu ditusuk kedinginan lama.

Dalam sebuah perjalanan, tentu sudah ditetapkan persinggahan. Tapi karena perjalanan malam, hanya terlihat gelap dan kemilau bintang. Saat mata terpejam, suara gesekan rel menggoyang angan. Meliuk-liuk dalam kecepatan terukur. Menepati waktu yang tak pernah terlambat mulur.

Kereta api tetap melaju saat terjadi sesuatu. Diturunkan di tengah perjalanan untuk mendapatkan perawatan. Tapi takdir sudah tersurat. Ini saatnya kembali ke asal untuk didekap.

Berkereta api dalam lintasan malam. Mungkin saja berhenti di tengah perjalanan. Tak terbayangkan bahwa itu stasiun pungkasan. Takdir suratan tlah ditentukan Tuhan. Dunia adalah tempat singgah, bukanlah tempat tinggal.

"Kang penting dudu sepira suwene anggonmu urip, nanging sepira becike nguripi urip. Quam bene vivas, non quam diu refert".

Dan suratan takdir pun ada yang harus terhenti. Ada pula yang masih diberi waktu untuk memantapkan kewajiban.

Ilustrasi bersumber dari twitter Rif!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline