Berjalan menyongsong kekosongan, bertemu banyak rongga. Terdangkal hingga terdalam. Jika terhembus angin, nada tiupannya seperti sedang melantunkan lagu. Dalam nada riang dan sendu.
Rongga itu pasrah saat ditiup. Baik saat di beranda depan, atau di tepian pematang. Sering suaranya makin melandai ketika menyentuh pematang tenang.
Berhenti lama di situ. Suara menunjukkan kota. Hiruk pikuk lalu mengarah ke sana.
Laron pun begitu. Berbondong menuju ke kota yang lebih benderang. Walau setelah terbang, sayapnya lalu patah, melata di tanah basah.
Kesementaraan memang lebih menyilaukan. Benderang menarik perhatian untuk hidup berjuang. Percaya ada garis tangan, siapa tahu menemukan pasir untuk dikepalkan.
Memburu sinar terang tidak mesti mampu membebaskan penghalang. Apalagi jika kita hanya sekedar bengong di batas senja dengan malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H