Saat kita bicara, ada isyarat, suka tak suka. Kadang memijar, bahkan berkobar-kobar, marah terbakar. Saling memfitnah, hampir tanpa telinga, pekak terasa. Penuh letupan, juga pekikan, riuhkan suasana.
Kata menjadi gema, sekeras toa, hilang seninya. Bebas beranalogi, intepretasi, benar sendiri. Memaksa satu, itulah kemutlakkan, yang dipaksakan. Dingin makin membara, dihembus-hembus, begitu lama.
"Celathu kanthi maton, nora mbeguguk, anggutha waton". Bicara itu seni, tidaklah mungkin, menang sendiri.
"Celathu" itu, pasti berdasar, berlangsung dua arah. Referensi yang sama, dan pengalaman, penting adanya. Tiada salah tafsir, karna tabayun, minim meski pun.
Ke mana kontemplasi, saat mengunyah, taklukkan marah. Risau nafsu, slalu memburu, terjebak bayang-bayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H