Cuaca dingin menghunjam. Di atas jam, langit tertegun diam. Walau gadang, dia seperti jam lain dalam membilang. Sehari semalam, tetap dua puluh empat jam.
Perjalanan jiwa ini tak mungkin hanya diukur dengan waktu. Jika khasanah dibiarkan berlalu, hanya menyisakan seonggok batin yang layu.
Tugas jarum memang melewati angka-angka. Suara detik gemericik. Seperti daun kering meninggalkan musim. Menguning, menggotong derita. Setiap hari diguncang cuaca.
Sang waktu sedang menjamu pengalaman malam. Hingga nyenyak tidur, mengikuti alur.
Waktu terkadang tidak mungkin berbagi adil. Bagi pemalas, waktu terlalu leluasa. Bagi yang sedang jatuh cinta, waktu berlalu cepat seperti disengaja.
Aku ingin, waktu masih mampu merangkai musim demi musim.
Masa lalu, hangat dipeluk kenangan. Masa depan, dipagari oleh angan-angan.
Jam gadang Bukittinggi, lambang keabadian, dalam suasana yang berganti-ganti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H