Dari dulu ku merindu. Pagi, siang, dan malam. Membelah kota, sambil jalan. Terdampar di warung lesehan. Berdua.
Di emperan Toko Bintang Terang, mbakyu Siti Khamsiah berjualan. Di dekat Gedung Agung, menemani menu Pak Harto, jika bermalam di situ. Gudheg basah, murah meriah.
Walau bukan Presiden, makan di situ, pantes-pantes saja. Kita berdua memakai baju batik santai sarimbit. Kemarin berburu ke Pasar Beringharjo.
Kita diskusi tentang masa depan. Kaki selonjor, menikmati "gudheg tigan suwir". Telur dibelah separo, daging ayamnya tiga suwir. Kalau ingin, minta tambahan areh.
Di atas pukul dua puluh malam, di dekat situ ada juga yang berjualan gudheg. Tapi sudahlah, itu terlalu malam untuk makan malam kali ini.
Keputusan penting harus diambil kali ini. Walau belum lulus, kita berniat nikah duluan. Toh banyak juga temannya. Mereka baik-baik saja.
Tapi apa hendak dikata. Orang tua tak merestuinya. Makan apa nanti. Mahasiswa pengangguran tak punya gaji.
Batik yang kita pakai malam itu jadi saksi. Kita harus patuh nasihat orang tua. Aku mundur teratur, melanjutkan petualangan sebagai mahasiswa abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H