Lihat ke Halaman Asli

Bambang Subroto

Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Lorong yang Diajak Berbohong

Diperbarui: 4 Juni 2021   14:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lorong panjang di antara dua dinding itu mampu jadi saksi bisu. Walau sepi kata, transaksi terjadi di sana. Tiada saksi kunci. Hanya berdua saja yang paham apa maksudnya. 

Semua pintu kamar di lorong itu terkunci. Berjalan berlawanan arah, seolah tak kenal wajah. Tetapi bersimpang jalan di dalam sunyi tersebut seolah menjadi prosedur kunci. Kamera  CCTV pun diistirahatkan dengan alasan sedang direparasi. Dari segi bahasa, terdapat istilah yang jarang dipakai, yaitu melorongkan. Secara harafiah berarti mengabulkan.

Lorong memang  sepi. Hanya dinding bisu kanan kiri yang tidak bisa ngomong bersaksi. Lahirlah istilah TST atau Tahu Sama Tahu.

Sebenarnya transaksi itu lebih sebagai transaksi martabat. Jika bergelombang sama, dengan atau tanpa bisik-bisik pun, penyimpangan dimungkinkan terjadi di koridor ini.

Martabat, sejatinya adalah kadar bobot moralitas seseorang. Berani atau takutkah untuk melakukan penyimpangan ? Di benak mereka yang takut menyimpang, selalu berdengung pertanyaan : "Layakkah ?, Wajarkah ?, Patutkah ? ". Karena martabat itu bentuk pengendalian diri, maka  pelakunyalah yang mungkin atau tidak mungkin mengakuinya.

Lorong tak mungkin berbohong. Tetapi koridor hanyalah jalan. Hanya mereka yang paham, kenapa harus melakukan itu sambil berlorong-lorong.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline