Siapa pun bisa terbang. Tinggal menunggu elang yang dapat dijadikan sebagai burung tunggangan. "Licet volare si in tergo aquilae volat". Demikianlah prinsip politikus dalam rangka meraih kekuasaan. Melipir dulu, lihat kiri kanan, hingga suatu saat terdapat kuda tunggangan yang dirasa tepat untuk melesat.
Bagi penganut paham machiavelianisme, politik diyakini sebagai cara untuk mendapatkan kekuasaan dengan menghalalkan berbagai jurus. Semua cara tidak ada yang haram, termasuk jurus mabuk dan salah urus.
Karena prosesnya melalui pintu itu, maka uang berubah fungsi sebagai maha kuasa. Semua proses berdemokrasi diubah menjadi dol tinuku, atau tawar menawar harga. Paling apes, ya kembali modal.
Sejatinya politik bukanlah seperti itu. Tapi sejak revolusi Prancis pun, Robespierre telah mempraktikkan bahwa politik bisa dijadikan kompor. Ia berhasil mengobarkan semangat agar khalayak mengikuti apa yang ia maui.
Dalam skala yang lebih kecil, para politisi masa kini juga melakukan. Bertambah kelihatan motifnya, tatkala telah muncul kubu pro kontra, yang adu strategi berebut kuasa. Sebagai tontonan, ternyata makin bertambah seru saja.
Aristoteles mungkin tidak membayangkan, ternyata politik bisa dipoles maknanya ke berbagai arah. Dulu filsuf ini meyakini bahwa politik merupakan cabang dari pengetahuan praktis. Sesuai kodrat manusia secara alamiah ingin : membentuk kelompok, bertindak dalam kelompok, serta bertindak sebagai kelompok. Tujuan politik adalah mencapai eudaimonia, yaitu kesejahteraan bagi setiap orang.
Gonjang ganjing perebutan kekuasaan di dunia kepartaian lama memang terasa lebih kriuk-kriuk, dibandingkan deklarasi partai baru yang dipenuhi wajah lama yang terbatuk-batuk karena telah menua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H