Semakin banyak kemudahan, jadinya kok makin malas berpikirnya ya ? Mungkin benar, mungkin juga tidak. Jika berasumsi benar, kebiasaan bermedia sosial bisa dijadikan salah satu tolok ukurnya.
Demi mendapatkan impresi, materi yang diunggah di media sosial sengaja dipilih yang diperkirakan mampu menimbulkan efek dramatis, impresif, menggemparkan, menghebohkan, skandal, dan konten spektakuler lainnya.
Atau kalau bukan itu ya disajikan hal-hal yang seronok, erotis, dan syahwati.
Apakah hal tersebut merupakan penanda awal dari gejala malas berpikir atau emi, alias emoh mikir ?
Emoh mikir dapat saja berlangsung ketika sebelum berbuat atau setelah berbuat. Lha kalau emi terus-terusan, kan ya jadi kebiasaan telmi atau telat mikir.
Padahal berpikir itu salah satu pertanda keberadaan manusia. Manusia tersusun dari dua dimensi fundamental. Pikiran dan tubuh.
Pikiran, berkegiatan untuk menunjukkan kemuliaan. Sedangkan tubuh, berjuang agar jasad yang masih hidup itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari upaya melanggengkan dunia.
Mungkin saja, karena pikiran tidak mau capek, akhirnya yang menjadi pilihan utama adalah berpikir simpel, sederhana, dan tidak mau susah.
"Cogito ergo sum", aku berpikir maka aku ada. Bukan emi, aku emoh berpikir maka aku tiada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H