Ada kalanya, belajar itu didahului dengan ragu-ragu. Tapi tidak berlaku untuk semua dan selamanya. Pengalaman memberi kesaksian bahwa memang ada yang harus begitu.
Belajar tentang kebajikan misalnya. Kita bisa memungutnya dari cerita wayang serta hikayat raja-raja. Banyak raja yang dimaki, dan tidak dipuji. Selama dan setelah jadi raja, paduka tidak meninggalkan sedikit pun kebajikan yang layak dikenang. Bagi yang belum pernah bertahta, malah bersyukur, walau tidak pernah masyhur.
Dalam khasanah filsafat, kita juga mengenal istilah skeptisisme. Paham tersebut senantiasa bersikap meragukan atau tidak percaya terlebih dahulu terhadap segala sesuatu. Mereka berkata : "Kita tak mungkin mampu mencapai kebenaran hakiki". Baik secara de jure maupun de facto. Manusia tidak akan mampu membuat definisi tentang apa itu kebenaran realitas. Pandangan ekstrim tersebut disampaikan oleh Kaum Pironisi.
Kenapa diberi julukan itu ? Sebab mereka tergolong pengikut pendiri tradisi skeptis, yaitu Piro.
Tuan Piro berpendapat : "Kita mesti menangguhkan semua keputusan, seraya membuat diri kita diam seribu bahasa, mengenai segala sesuatu". Dalam perkembangannya, lalu terdapat pengikut skeptisisme yang keras, ada pula yang mulai melunak sedikit.
Skeptis lalu dimaknai sebagai sikap ragu-ragu, sangsi, dan syak. Pro atau kontra terhadap suatu masalah, sering bersumber dari adanya syak wasangka. "Benarkah ? Jangan-jangan ada udang di balik batu".
Dalam proses mengolah prinsip, kita justru malah sering sulit berembug. Masing-masing punya fakta. Masing-masing punya skenario skeptis :"Contra principia negantem disputari non protest". Oleh karena itu, tak ada salahnya kita berfilsafat sambil bermenung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H