Lihat ke Halaman Asli

Negeri Kaum "Pungli-Tor"

Diperbarui: 12 Oktober 2016   10:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita OTT pungli di Kementerian Perhubungan kemarin, seakan menyeruak menyadarkan kita bahwa mentalitas pungli itu masih ada. Bagi penulis fenomena tersebut tidaklah mengagetkan atau membikin kagum atas prestasi aparat penegak hukum. Mengapa? Ada beberapa alasan, 

Pertama: Hingga saat pungli dengan kasat mata masih berkeliaran di hampir seluruh pelosok negeri ini. Mulai kantor desa hingga kantor yang lebih tinggi atau yang lebih punya gengsi. Pungli dalam pandangan penulis ibarat adiknya korupsi. Semakin diungkap justru nampaknya semakin seksi. Berapa banyak orang OTT kasus korupsi? Bikin jera? Tidak, justru makin merunyak. Demikian pula pungli. Pelakukanya juga tidak tanggung-tanggung. Mulai dari rakyat jelata, preman, hingga aparat di semua lini. Mau bukti? Silakan cek di jalanan. Berapa banyak sopir angkutan umum yang kena palak para preman (bahkan aparat penegak hukum), pungutan di jalan-jalan bagi truk yang lewat, pungutan di kantor -kantor pemerintah dengan dalih untuk tips atau bahkan hingga ditentukan tarif tidak resmi, dan sebagainya. 

Kedua: Pungli nampaknya telah mendarah daging di tubuh bangsa ini, seperti halnya korupsi. Sejak jaman orba sudah digembar gemborkan tentang pungli, tetapi nampaknya tidak begitu kuat efeknya. Boleh jadi karena faktor keteladanan waktu itu tidak ada. Bagaimana orang teriak-teriak tentang jangan pungli, sementara yang bersangkutan terlibat pungli bahka korupsi. Jangankan manusia, bebek pun penulis  rasa tidak akan menurut meski bebek ditakdirkan untuk berjalan menurut sang pemimpin. Tidak jelas siapa setan sebagai gurunya, tetapi yang jelas pemikir dan pelaku pertama kali jelas akan menanggung dosa dari sekian juta atau bahkan  milyar manusia yang mengikutinya. 

Ketiga: penegakan hukum tersebut penulis yakin hanya hangat-hangat tahi ayam. Ingat kasus bea cukai yang digrebek KPK? bagaimana kabarnya sekarang? apa sudah bagus? bagaimana dengan kantor serupa di kawasan industri yang ada perwakilan bea cukainya? sudah bersihkan? beberapa tahun yang lalu penulis sempat melihat dengan mata kepala sendiri betapa kasus pungli berkeliaran di sekitar kawasan industri. Akan lebih bagus kalau terapi kejut tersbut dilakukan di setiap lini instansi pemerintah secara terus menerus. Pertanyaan selanjutnya : mampu kah aparat hukum melakukannya? berapa besar sumber daya mereka menghadapi persoalan yang sudah mendarah daging tersebut? 

Penulis pesimis pungli (dan korupsi) bisa hilang dari bumi pertiwi jika penanganannya seperti yang terjadi saat ini. Hangat-hangat tahi ayam, tidak ada terapi kejut terkait hukumannya, budaya hedonisme, dan sejenisnya, merupakan latar belakang mengapa penulis pesimis. Bagaimana solusinya ? Jangan hangat-hangat tahi ayam dalam menyapu pungli, gunakan sapu yang bersih dalam menyapu pungli, pemimpin harus bisa menjadi panutan , budayakan hidup sederhana-tidak mengumbar syahwat dunia dan yang tidak kalah penting adalah hukuman yang membikin efek jera. Kalau titah Yang Maha Kuasa dan Bijaksana adalah hukum potong tangan bagi para pelaku pencuri (korupsi, rampok, pencuri, pungli dan sejenisnya) yang terbukti bersalah... adakah hukum yang lebih baik selain apa yang dititahkan oleh Yang Maha Kuasa dan Bijaksana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline