- Saya ingin jawab satu persatu, Semen Padang dan Pelita Jaya memang belum bisa dikatakan full profesional karena merkeka membiayai klub bukan murni dari bisnis sepakbola. Semen Padang dapat subsidi dari Semen Andalas, dan Pelita Jaya sudah tidak perlu dibahas lagi karena saya yakin semuanya sudah tahu.
Untuk Arema Indonesia saya tahu dan saya alami sendiri, stadion selalu penuh, bahkan jumlah penonton selalu melebihi kapasitas stadion. Tetapi kenapa penghasilan tetap tidak memadai? Hal ini disebabkan karena para petugas tiket banyak yang tidak menyobek tiket dan menjualnya kembali.
Untuk hak siar, 25 juta rupiah sangatlah kecil, kasus pada Persema, beberapa kali tayang live tetapi cuma dapat pada kisaranpuluhan juta rupiah saja. Malangnya uang dari hak siar masih diutang/ ditahan dan baru dibayar setelah dimunculkan di berita koran. Sedang klub yang tidak pernah atau jarang tayang live malah tidak dapat apa apa sepertiklub Papua.
Bagaimana dengan merchandise dan assesoris klub? Klub mengeluarkan kostum resmi, tetapi apa daya yang laris manis malah barang bajakan.
Bagaimana dengan sponsorship? Memang Jarum menggelontorkan 40 M ke PT. LI, tapi berapa M yang masuk ke klub? Ini yang yang tidak pernah dibuka oleh pengelola ISL, sedang sponsor dari perusahaan swasta sangat minim sekali, dikarenakan memang belum profesional klub ISL.
Dulu Joko Driyono pernah mengatakan bahwa PT.LI bukan perusahaan yang profit oriented, tapi siapa yang mau percaya?
Untuk mencapai liga profesional harus dibutuhkan kerja yang super keras dari para stake holder dan pelaku sepak bola Indonesia. Jadi inilah mengapa klub Indonesia masih belum bisa full mandiri, mungkin sudah seharusnya pengurus klub bukan orang yang mencari makan dari sepakbola tetapi pengurus klub harus bisa memberdayakan klub itu sendiri. - Salam reformasi PSSI..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H