Wih, ada wacana baru, nih. Kabarnya, PR atau pekerjaan rumah akan ditiadakan. Asyik, dong! Pulang sekolah langsung santai. Bebas merdeka. bye..bye PR hehehe.
Sebenarnya, dari dulu itu, PR sudah mendapat tanggapan beragam siswa. Bagi siswa yang pintar di sekolah, pastinya senang ada PR, sedangkan bagi siswa yang malas, PR memang jadi beban. Kalau siswa yang sedang-sedang saja, maka menanggapi PR kadang senang, kadang mengeluh hahaha.
Kenapa Ada PR?
Zaman saya sekolah, para guru menjelaskan adanya PR, agar para siswa di rumah bisa mengulangi pelajarannya yang sudah diajarkan di sekolah. Karena setiap siswa kan, berbeda cara menangkap pelajarannya. Istilah sekarang, tergantung loadingnya.
Tapi memang sih, sesuai pengalaman saya yang masuk kategori siswa sedang-sedang saya, saat mengerjakan PR, saya kembali membaca materi yang sudah dijelaskan tadi di kelas. Begitu juga saat mencari jawaban PR.
Kemudian, seingat saya, nilai PR ini akan membantu juga saat pengisian nilai raport. Makanya diusahakan PR harus selalu disetorkan, plus diusahakan nilainya bagus-bagus semua.
PR Bak Mata Pisau
PR ini sebenarnya, bisa jadi ajang sosialisasi dan berbagi juga antar siswa. Misalnya, saat ada teman yang belum paham, bisa diajak belajar kelompok atau belajar bersama. Dan saya yakin, setiap siswa mempunyai kelebihan masing-masing di setiap mata pelajaran. Jadi saling membantu juga.
Hanya bagai mata pisau, PR juga bisa dijadikan alasan untuk membohongi orang tua hahaha. Misalnya izin telat pulang karena belajar kelompok mengerjakan PR. Padahal... ehm.. dolan-dolan. Kalau zaman saya dulu, banyak teman alasan seperti ini, terus ngumpul dan merokok. Akhirnya, besok pagi pada datang pagi, grasak-grusuk cari contekan PR hehehe.
Dari PR ini, bisa terjadi pembully-an juga. Sudah banyak kasus, siswa pintar di sekolah, dipaksa mengerjakan PR satu gank. Kalau tidak, maka siap-siap kena tonjok. Tentu saja ini sangat memprihatinkan di dunia pendidikan. Bisa meninggalkan trauma bagi si siswa.