Lihat ke Halaman Asli

Bambang Irwanto Soeripto

Penulis cerita anak, blogger, suka jalan-jalan, suka wisata kuliner, berbagi cerita dan ceria

Impian Menghabiskan Masa Pensiun di Desa, Tak Seindah Kenyataan

Diperbarui: 17 Oktober 2022   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tinggal di desa| Dok Pixabay/Peggy_Marco via Kompas.com

Saya sering membaca atau mendengar, banyak orang yang ingin menghabiskan masa pensiun atau masa tuanya di desa. Bisa dekat dengan keluarga, bisa menghirup udara bersih, bisa fokus beribadah, dan lain-lain.

Itu juga termasuk impian bapak saya. Saat pensiun dari Angkatan Darat tahun 1995, beliau sudah mengadang-gadangkan pada seisi rumah, kalau akan pindah ke kampung halamannya di sebuah desa di salah satu kabupaten di Jawa Tengah. Apalagi, nenek saya (ibu bapak saya) masih hidup. Bapak saya juga ada warisan sebidang tanah.

Sebenarnya, ibu saya kurang setuju untuk pindah. Alasannya, karena kami sekeluarga sudah merasa nyaman di Makassar (dulu Ujung Pandang). Selama berpuluh tahun, orangtua saya sudah di Makassar. Bahkan saya dan keempat saudara saya, semua lahir di sana. Rumah juga sudah sangat nyaman, berada di tengah kota.

Namun begitulah, keegoisan bapak saya mengalah semuanya. Senjatanya adalah dia yang membangun rumah di Makassar. Jadi dia berhak menentukan. Lagipula, dia dekat ibu dan saudaranya. Biar bisa saling bantu. Terus ditambah, ucapan, "Saya mau mati di kampung sendiri kok!" 

Foto: Desain Canva

Pindah ke Kampung Halaman

Setelah menunggu waktu yang lumayan lama, akhirnya rumah di Makassar terjual di tahun 2003. Itu juga sangat murah di bawah standar. Sebabnya, karena bapak saya mau buru-buru pindah. Padahal kalau sabar menunggu, bisa dapat harga yang sesuai. 

Proses pindahnya juga sangat dadakan. Tiba-tiba bapak saya mengabari saya, agar nanti jemput di bandara Soekarno Hatta tanggal sekian, jam sekian. Tentu saja, saya kaget. Soalnya tahun 1998, saya memang sudah merantau ke Jakarta.

Akhirnya bapak saya pindah ke kampung. Begitu saya jemput di Jakarta, dua hari , saya langsung diajak ke kampung, karena kontainer barang dari Makassar sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dua hari kemudian, kontainer pun tiba di kampung bapak saya.

Bapak saya benar-benar bergerak cepat. Begitu sampai kampung, langsung diskusi dengan ibunya dan saudara-saudara. Besoknya langsung ukur tanah, sorenya sudah datang bahan-bahan bangunan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline