Lihat ke Halaman Asli

bambang prasetia

pengamat kebijakan publik

Tragedi Demokrasi via Pemilu

Diperbarui: 14 Mei 2019   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam era demokrasi selalu mengedepankan hak berpendapat  setiap warganya yang dikemas dengan voting suara atau bisa dikatakan one men one vote..entah pangkat dan bobot kebangsaannya dihitung suara terbanyaklah yang menang. Miski ada suatu kelompok yang lebih berpengaruh thdp lainnya. Disitulah ada timbul suatu perbedaan kelompok kepentingan. Ada bbp penelitian bahwa dengan tingkat pendidikan dan penghasilan tertentu rakyatnya, pemilu akan relatif mudah dan aman dilaksanakan.  

Pemilihan umum dengan biaya mahal dari rakyat tersebut tidak memungkinkan sesorang atau kelompok untuk mengeklaim program riel yang dilaksanakan oleh kandidatnya saat jadi. Karena secara global itu hanya sebagai janji2 politik, tanpa ada  yang menghakimi. Ketika "panah lepas dari busurnya" pasti banyak dipengaruhi oleh vested- interest. Kadang endingnya membuat kecewa para Voters.

Apakah sesorang sbg penduduk dalam suatu provinsi yang hanya memiliki kepadatan relatip kecil akan terhapus oleh gelombang yang mempunyai pengaruh besar dilain tempat? Padahal diwilayahnya mempunyai kandungan yang berarti mungkin berupa peninggalan budaya tinggi, alam dan lingkungan yang banyak menyumbang besar thdp kepentingan negara. Lantas sisi keseimbangan keadilannya bagaimana dlm penentuan pemilihan pemimpinnya?

Menggiring Voters

Penguasa bisa diartikan terhadap apakah kekuasaan thdp dana, teknikal dan efektivitas penyebaran informasi dan juga pengaruh2  yang tersembunyi untuk menggiring opini.  Katakan saja pada suatu kelompok pemilih yang belum mampu menganalisis tentang isu2 yang ada dibanding dgn program janji2 kandidatnya, maka mrk mudah untuk digiring dengan opini2 yang bisa menyesatkan. Jelas one man one vote akan tidak dirasakan akan berpengaruh kepada pemilih secara langsung dirasakan ketika Kandidat jadi memimpin dan mungkin yang terjadi sebaliknya.

Dalam perjalanannya ketika pemimpin itu sudah dianggap pemilihnya tidak kompeten, diragukan kapabiltasnya  lagi,  banyak dirasakan ketidak adilan tentang pikiran dan tindakan sewaktu kandidat dgn pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, banyak kepentingan publiknya terganggu, maka banyak pemilih yang frustasi .  Bbp kebijakan publiknya  ingkar dari janji2nya, bahkan untuk mengedepankan kepentingan mereka tidak didengar lagi, malah semakin menekan rakyatnya dengan kebijakan yang tak pro rakyat. 

Apa yang terjadi?

Apabila pemilihan itu tidak adil dan jujur maka kerusakan peradaban akan menjadi catatan sejarah bangsa itu sendiri dan oleh dunia luar mungkin secara umum akan dihormati, namun akan ada excess tertentu yi haus kekuasaan menyanderanya dikemudian hari baik u popularitas diri maupun secara kejiwaan - religius  menimpa kehidupan pribadinya, tentu berikut arsiteknya dan kroni2nya.  

Kesimpulan.

Bahwa perkembangan peradaban demokrasi selalu akan usang oleh ketidak adilan dlm memenempuh demokrasi itu sendiri. Karena ada pepatah jawa asu gede menang kerahe..ibarat seperti daya rendah yang dipunyai oleh hewan ..tersirat "adigung adi-guno; ojo dumeh.. uwong iku mesti nggendong lali..arti filosofis yang dalam sudah ada di jawa dan masih banyak lagi... juga tentang theori2 barat...lihat sejarah di pemerintahan Perancis ..John Emerich Edward Dalberg Acton , Baron Acton pertama (1834--1902): "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." 

Jelaslah dalam kondisi apa masyarakat berada harus waspada dan sadar, merebut kekuasaan hanya boleh apabila untuk tujuan kebajikan semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline