Keputusanku ini berat, tajam dan dianggap absurd. Berat, karena harus kuambil melalui proses pertimbangan yang panjang. Melewati perdebatan yang sengit. Membutuhkan pergumulan doa yang intens. Plus penyaliban kesenangan manusiawiku sendiri.
Tajam, karena ada pihak-pihak yang terkecewakan. Bahkan melukai jiwaku sendiri. Lantas absurditasnya di mana? Dianggap absurd karena menimbulkan reaksi dan komentar yang beragam. Khususnya dari teman-temanku sendiri. Ada yang menyebutku, sok-sok-an. Sia-siakan kesempatan emas. Sombong. Dungu. Idealis, tapi konyol dan lainnya.
"Kurangnya apa sih si Edu itu? Apa kurang ganteng, pinter dan kaya?" tanya Widya padaku.
"Dia ganteng, cerdas dan babenya tajir." Jawabku datar apa adanya.
"Lalu kenapa elu tolak? Padahal semua cewek itu pengin punya pacar yang ganteng, pinter dan sugih. Elu aneh banget deh!"
"Elu boleh cantik, tapi gak boleh sombong begitu!" imbuhnya menuduhku.
"Yang sombong itu siapa, Neng?"
"Jual mahal elu itu, kesombongan namanya!"
Jelas itu adalah kesalahpahamannya sendiri terhadapku. Sudah beberapa kali kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Namun Widya, sahabat baikku ini, tampaknya masih belum juga paham. Masih saja ia mengklaimku sebagai cewek yang arogan dan sok cantik.
Persoalannya itu apa sih?
Apalagi kalau bukan soal keputusanku memutus sepihak hubunganku dengan Samuel Eduardo. Sejatinya dalam banyak hal aku cocok dengannya. Ada rasa nyaman dan bangga ketika berdua dengannya. Namun dengan berat hati, terpaksa harus kuputus sepihak karena sinkretisme imannya. Bagiku ini prinsipil banget.