#12
SINGGAHLAH DI KOTA JOGJA, dan temukan pekatnya kopi serasa rembulan dibungkus malam. Eksotisme kota kecil yang tak pernah terlelap. Tak kurang syahdunya denyut kehidupan yang terus berputar sepanjang waktu.
Menikmati Jogja belumlah lengkap tanpa mendekap suasana malamnya. Melingkar tanpa hiruk peluk, menekan hati, perasaan, ataupun pikiran.
Begitulah suasana kebatinan kota yang menyandang predikat Budaya, Pendidikan, Perjuangan, Revolusi, Seni, Filosofi, Gudeg, Angkringan dan jangan lupa yang tak kalah populernya: Klithih.
Kehidupan malam Jogja memang menghanyutkan, unforgettable banget. Chairil Anwar boleh saja berkredo puisi: "Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram." Tapi di Jogja, "Gerimis mempercepat rindu, sayap-sayap cintanya mengundang singgah berlabuh".
Kemesraan yang sejak lama mentradisi. Budaya ngumpul kongkow sembari berdiskusi membincangkan topik apa saja. Warung-warung malam di sudut-sudut kota menjadi saksi atas romansa itu. Sebelum kemudian berganti menjadi angkringan, kedai kopi, warmindo dan juga cafe. Ada sebagian tempat nongkrong bertahan berkembang atau menghilang. Warung Mbah Wongso, Lek Mien, Mbah Man, Mbah Mo, adalah sebagian legenda pelaku sejarah malam di Jogja.
JAM MALAM KLITHIH
Situasi yang temaram nyaman itu, beberapa waktu ini sempat terusik dengan adanya Klithih, tindakan kekerasan yang kerap dilakukan segerombolan anak remaja.
Klithih ditafsirkan dan diekspresikan dengan cara yang berbeda dan salah. Padahal awalnya Klithih dipahami sebagai aktivitas berkeliling keluar rumah tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang.
Ada juga yang menyebut klithih merupakan penyebutan terhadap Pasar Klitikan yang banyak bertebaran tlotoar atau emperan sepanjang pinggir jalan Yogyakarta.