Target perolehan wisatawan tahun 2019 adalah 20 juta wisatawan manca negara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara. Sebuah target yang tentu saja tidak begitu saja dapat diraih tanpa upaya keras dan cerdas dari semua stake holder pariwisata nasional. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini kementerian pariwisata membentuk tim-tim percepatan wisata dalam berbagai bidang. Salah satu tim percepatan tersebut adalah tim percepatan wisata bidang sejarah, religi, tradisi, seni, dan budaya, yang diketuai oleh Tetty Aryanto. Apa yang mendasari dibentuknya tim tersebut dan apa tujuan yang ingin dicapai? Saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Tetty Ariyanto mengenai hal tersebut, berikut ini:
(T). Apa yang dimaksud dengan tim percepatan wisata dan apa yang melatar belakangi pembentukannya?
(J). program percepatan ini merupakan program presiden Jokowi sebagai upaya konkret dalam rangka pencapaian target jumlah wisatawan manca negara 20 juta pada tahun 2019 dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara. Dalam kerangka itulah presiden minta kepada menteri pariwisata untuk membentuk tim-tim yang akan mampu mengakselerasi percepatan pengembangan wisata-wisata ini. Ada sekitar tujuh tim yang dibentuk. Ketika bicara percepatan, berarti selama ini dirasakan ada sesuatu yang lambat, karena mungkin adanya penyumbatan-penyumbatan. Jadi misalnya, ketika masyarakat yang sudah bertahun-tahun tinggal di suatu lokasi yang berpotensi menjadi destinasi yang menarik menganggap suatu hal tersebut biasa-biasa saja, tapi ketika ada orang luar yang melihat, kemungkinan ada peluang- peluang untuk membuka penyumbat-penyumbat yang ada, sehingga dapat menjadikan destinasi tersebut lebih manarik. Nah, untuk membuka penyumbat-penyumbat itulah maka dibentuklah tim-tim percepatan.
(T). Bagaimana dengan tim percepatan wisata yang Anda ketuai?
(J). Ya, minat dari para wisatawan itu tentu baragam, oleh karena itu kementerian pariwisata membuat profil wisatawan sesuai dengan peminatan, ada yang berminat wisata budaya, wisata alam, wisata bahari, wisata halal dan lain-lain. Dari situlah kemudian mengapa dibentuk tim-tim percepatan . Yang menarik adalah, berdasarkan analisa dan setelah dilakukan penelitian, ternyata wisatawan berkunjung ke suatu destinasi paling besar karena ketertarikan terhadap budaya yang ada, mereka ingin mempelajari sesuatu yang berbeda dari budaya mereka sehari-hari. Sementara wisata budaya itu sendiri bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub, ada wisatawan yang menyukai peninggalan sejarah (heritage), ada yang menyukai wisata ziarah, termasuk juga berbagai macam tradisi dan seni, juga termasuk wisata budaya adalah wisata edukasi dan kuliner atau gastronomi, kemudian spa dan belanja. Nah, saya ditugasi sebagai ketua tim percepatan wisata sejarah, religi, tradisi, seni, dan budaya.
(T). Apa setrategi yang dilakukan untuk mewujudkan pekerjaan tersebut?
(J). Setrategi yang akan dilakukan oleh tim adalah fokus pada pengembangan destinasi . Destinasi dalam arti bukan yang dari nol, tapi destinasi yang sudah memiliki infra struktur, tim berupaya melakukan pengembangan-pengembangan yang sudah ada sesuai dengan namanya percepatan, jadi bukan dari nol.
(T). Apakah selama dianggap lambat atau kurang digarap, sehingga dibutuhkan percepatan?
(J). Ya,…ini sebenarnya menyangkut falsafah budaya kerja, jadi bagaimana membuat birokrasi memiliki cara berpikir korporasi. Karena tentunya cara berpikir birokrasi dan korporasi tentu berbeda. Jadi orang-orang yang duduk di tim percepatan bukan dari kalangan birokrasi tapi dari swasta yang sudah biasa dengan berpikir cara korporasi. Tim ini diharapkan dapat memberi angin segar bagi pengembangan wisata Indonesia. Meskipun sistem pengadministrasian tetap cara-cara kementerian, tetapi konten dan subtansinya diisi oleh tim yang cara berpikirnya sudah biasa out of the box.
Tim ini tetap melekat pada pemerintah bukan lembaga tersendiri, jadi semacam pokja. Tugas tim adalah membantu membuka kran-kran yang selama ini dirasa menyumbat di birokrasi terhadap pengembangan destinasi wisata. Selama ini pengembangan destinasi dirasakan tidak atau kurang dilakukan dengan cara berpikir kita sebagai user. Karena pemerintah itu biasanya top dawn, sementara kalau pengembangan destinasi ingin berjalan optimal harus dilihat dari kacamata kastemer. Nah, jadi kita bicara atas nama kastemer. Kastemer sekarang ini butuh pengalaman real, tidak sekedar kunjungan yang biasa-biasa saja. Mereka pingin tahu prosesnya seperti apa , jadi lebih melihat ke hulu dari pada hilirnya. Hulunya seperti apa sih?
(T). Dalam realisasi program ini, siapa saja komponen yang terlibat?