Lihat ke Halaman Asli

Bambang Iman Santoso

CEO Neuronesia Learning Center

Mempromosikan Budaya Indonesia Melalui Media Digital

Diperbarui: 18 Agustus 2021   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Selasa, 17 Agustus 2021. Tanpa disadari kehidupan sehari-hari kita sudah sangat dekat dengan dunia digital. Peradaban manusia signifikan jauh berbeda dengan 10-20 tahun yang lalu. Lawrence (2013) telah mendefinisikan bahwa 'new normal' sesungguhnya adalah perubahan yang terus berlangsung dan semakin cepat terjadi. Disrupsi digital tidak dapat dihindari memengaruhi lingkungan semua sendi kehidupan kita yang terus bergejolak dan turbulensi, penuh ketidakpastian, sangat rumit dengan kebaruan, dan selalu membingungkan, serta menimbulkan keberagaman yang semakin kompleks. Dikenal dengan istilah VUCA/TUNA/D-VUCAD World.

Disrupsi Digital menimbulkan diversity semakin kompleks. Indonesia dikenal dari dulu sebagai ahlinya keberagaman, hingga keluar kalimat falsafah berbunyi 'Bhinneka Tunggal Ika' yang digenggam oleh kaki burung Garuda Pancasila. Bayangkan, dari Sabang sampai dengan Merauke terbentang 17.504 pulau, yang terdiri dari 1.331 suku etnis, dengan 741 bahasa daerah yang berbeda, serta memiliki 245 aliran kepercayaan dan 6 agama resmi (Sumber: Dokumentasi Kristianus Nugroho, 2019).

Dengan adanya disrupsi digital sebagai dampak kemajuan teknologi informasi komunikasi (TIK), masyarakat Indonesia hari ini telah memiliki hak akses informasi yang sama, selama memiliki gawai atau perangkat digital dan menangkap sinyal baik gratis maupun berbayar. Sementara mereka umumnya memiliki kemampuan literasi baca dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Ditambah lagi selama dua dekade ini kita telah memasuki alam demokrasi yang membebaskan setiap orang berbicara, berpendapat atau berkomentar terutama di ruang digital tersebut. Sehingga diversity benar-benar semakin beragam. Sesungguhnya cognitive diversity merupakan potensial yang dahsyat bila kita lihai mengelolanya melalui cognitive collaborations. Namun sebaliknya, bila tak pandai akan menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang berujung pada perpecahan.

Transformasi Digital

Transformasi digital menyebabkan bergesernya paradigma secara umum. Zaman now lebih mengutamakan kolaborasi dibanding kompetisi berdarah-darah yang hanya menimbulkan banjir kortisol di kepala. Stres akan memutus-mutuskan sinaps sambungan antar sel-sel otak neurons kita. Membuat bodoh dan melemahkan sistem imun tubuh manusia. Era sekarang adalah eranya berbagi dan bertukaran pikiran, informasi, pengetahuan serta pengalaman (new era = mind share). Tidak hanya sibuk memperluas atau mempertahankan pangsa pasar (market share).

Berkolaborasi dengan masing-masing pihak pada dasarnya menyadari kekuatan dan kelemahan kita juga orang lain. Mereka sadar betul, bahwa setiap orang berbeda. Every connectome is unique, every brain is unique. Masing-masing pastinya memiliki kelebihan (strengths). Fokus hanya kepada kelebihan atau kekuatan ini saja (strengths-based approach). Membangun kompetensi memang penting, namun semuanya dapat dipelajari, semuanya bisa dilatih. 

Repetisi adalah proses pengulangan menebalkan neural pathways atau jalan-jalan pikiran yang membentuk kebiasaan dan ketrampilan. Dasar pembentukan budaya, baik secara sadar maupun tidak.

Dalam 1-2 dekade ini, Indonesia sangat mengalami banyak kemajuan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang telah berjasa membangun infrastruktur tersebut dan membesarkan industri ini. Namun ada 2 catatan khususnya terkait dengan budaya digital bangsa kita. Pertama, kemajuan pemanfaatan sistem informasi yang pesat tadi belum diimbangi dengan literasi baca dan literasi digital yang kuat. Konten positif yang mengedukasi dan mendidik memberikan ilmu pengetahuan masih relatif sedikit dibandingkan dengan konten negatif.

Kedua, di balik kesuksesan infrastruktur jaringan tadi, dari sisi teknologi informasi kita masih diperlakukan sebagai pasar yang didominasi hanya menggunakan karya teknologi luar (users). Bayangkan semua peralatan elektronik telekomunikasi tadi bila kandungan lokalnya mayoritas diproduksi oleh anak bangsa. Tidak hanya peralatan jaringan telekomunikasi, bahkan gawai (gadget) atau electronic devices seperti komputer (PC, desktop, notebook, macbook, netbook, dlsbnya) dan smartphone (handphone, iphone, android phone, tap, pad, dll) semuanya masih import. Menyedihkan memang, tapi faktanya sperti itu.

Karenanya literasi digital masyarakat menjadi mendesak untuk segera ditingkatkan. Kemampuan digital (digital skills) menjadi sangatlah penting dimiliki oleh setiap anak bangsa. Menjadi kemampuan umum yang disyaratkan untuk setiap warga negara kita. Seringkali netizen Indonesia menjadi terkesan tidak etis atau dikenal paling tidak sopan, disebabkan bukan karena mereka memang benar-benar berniat berbuat jahat. Namun umumnya karena lebih banyak mereka yang tak cakap (unskilled) memanfaatkan teknologi media digital ini. Bahkan banyak yang secara tidak sadar telah membahayakan keselamatan diri atau orang lain dalam bermedia digital karena kemampuan literasi digitalnya tadi masih sangat rendah (unsafe & unsecure).  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline