Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 27 Mei 2020. Pertanyaan judul tulisan ini tidak hanya sekedar menarik minat pembaca. Namun banyak teman-teman kita yang menanyakan perihal ini. Mungkin jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Apalagi bila masa pandemi ini berlangsung lama. Kita doakan saja itu tidak terjadi, dan semoga cepat berakhir.
Lebih tepatnya yang jelas pandemi berpotensi merubah perilaku orang. Begitulah seperti hasil kesimpulan diskusi pada acara ngobdar – ngobrol daring bareng komunitas Neuronesia, yang kali ini dipimpin oleh Bp. Jesse Monintja, MA, Psy, Board of Honor Neuronesia Community (20/04/2020).
Beliau juga sekarang menjabat sebagai Direktur CBR – Center of Behavior Research. Namun menurutnya; bila pandemi ini berakhir apakah perilaku seseorang akan terus tetap berubah atau kembali kepada perilaku sebelumnya, ini lah yang belum bisa dipastikan. Terutama bila pandemi ini segera berakhir, kecenderungan kebanyakan masyarakat kita secara berangsur-angsur akan kembali ke perilaku sebelumnya.
Bukan berarti bangsa kita adalah bangsa pelupa. Iya mungkin ada beberapa oknum yang sering sinis dan mudah menyimpulkan secara negatif terhadap bangsanya sendiri. Karena hal ini sebenarnya sangat normal dalam artian sangat manusiawi.
Aslinya otak manusia, apapun bangsanya, bukan dia mudah melupakan, tapi pada saat kembali sibuk kepada rutinitas kehidupan normalnya mereka sering larut. Subconscious mind atau pikiran bawah sadarnya yang kembali men-drive mereka berpikir, berperasaan dan mengambil keputusan-keputusannya dalam bertindak serta melakukan aktivitas kesehariannya.
Di dalam neurosains, subconscious, unconscious, dan nonconscious mind disederhanakan yang sering juga disebut dengan pikiran-pikiran otomatis. Apalagi neural pathways yang telah tebal terbentuk. Di dalam beberapa penelitian sebelumnya, para ilmuwan menyepakati bahwa kondisi kehidupan seseorang apakah dia merasakan – susah dan bahagia, atau sukses dan tidak sukses – adalah 90% lebih hasil dari keputusan-keputusan otaknya bepikir secara tidak sadar. Mungkin perlu diperkuat dengan kajian-kajian neurosains lain yang lebih komprehensif ke depannya.
Masih banyak orang yang belum menyadari hal ini, bahwasannya mereka tidak sadar kalau prestasi atau kinerja hidupnya lebih banyak di bawah pengaruh pikiran-pikiran bawah sadarnya (uncosciously unconcious). Banyak paket pelatihan-pelatihan yang menawarkan untuk melatih meningkatkan kesadaran diri sehingga akhirnya dia sadar bahwa pikiran-pikiran bawah sadarnya lah yang seakan-akan ‘menentukan nasibnya’ (consciously uncoscious).
Kemudian dalam tingkat yang lebih lanjut mereka sadar dan mencari tahu serta mengupayakan bagaimana meningkatkan kesadarannya agar senantiasa sadar dan cakap mengendalikan bahkan mampu memprogram pikiran-pikiran bawah sadarnya (consciously conscious).
Sedangkan pada tingkatan yang paling tinggi; secara terus menerus dia mengasah kesadarannya, sehingga tanpa ia sadari telah sangat terampil dan memiliki kecakapan mengelola dan meregulasi pikiran-pikiran bawah sadarnya (unconsciously conscious). Konsep ini pula lah yang juga dipergunakan sebagai landasan untuk menentukan hierarchy of competence atau stage of competence.
Kalau kita telaah lebih dalam lagi secara ilmiah, sesungguhnya meningkatkan tingkat kesadaran pada esensinya adalah mengaktifkan fungsi prefrontal cortex (PFC) yang meminimalis pikiran-pikiran otomatis kita. Sehingga tidak larut dengan suasana. Walau tidak semua pikiran-pikiran otomatis harus kita hilangkan.