Bagi sebagian orang di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menjadi Kepala Desa di kampung cukup berat dan siap-siap melarat.
Sebab, prikehidupan sosial masyarakat di kota berbeda dengan di kampung. Kepala Desa menjadi "orang tua" seluruh warganya. Sementara budaya warga di kampung sangat erat tali kekeluargaannya.
Contoh kecil di tempat saya, Desa Suela, Lombok Timur, semua mantan Kepala Desa dari zaman Soeharto sampai dengan zaman Jokowi harta bendanya berupa sawah ladang habis terjual untuk melayani warganya.
Salah satu mantan Kades yang paling terkenal adalah Almarhum Haji Makmun. Ia menjabat dua periode. Semua sawahnya terjual untuk melayani kebutuhan warganya dan diwakafkan untuk sekolah madrasah.
Dia terkenal sangat loyal. Sampai-sampai kalau ada warganya yang jalan kaki ia samperin dan dikasih ongkos ojek. Hampir semua orang hajatan dikampungnya ia kunjungi dengan membawa uang dan dikasih ke yang punya hajatan.
Di kampung saya, ketika orang hajatan; perkawinan, khitan, sunat, meninggal dan lain-lain warga sekitar berkunjung ramai-ramai ba'da sholat magrib dengan membawa uang Rp 10.000 dan Rp 20.000 tergantung kedekatan silsilah kelurga dan sahabat.
Kades, sangat malu membawa uanga Rp 20.000. Minimal ia bawa Rp 50.000. Lebih-lebih kalau yang punya hajatan adalah timses atau keluarga para Kades harus mengeluarkan Rp 500.000 sampai dengan Rp 1 juta.
Belum lagi dengan proposal-proposal pemuda yang mau olahraga minta dibuatkan pertandingan antar kampung atau Kafes Cup yang biayanya cukup lumayan.
Banyak kegiatan dan acara yang mau tak mai seorang Kades harus mengeluarkan uang pribadi dan lainnya. Belum lagi yang bertamu ke rumahnya setiap malam dan harus disiapkan the, kopi, snak dan rokok.
Pengeluaran kita sebagai Kades cukup besar. Karena, kita harus mengatasi seluruh pengeluaran warga biasa. Ketika orang sakit di Puskesmas atau di rumah sakit, uang jenguk Kades malu memberikan Rp 50.000 seperti warga biasa.