Lihat ke Halaman Asli

Che Ambank

Bekerja di PT. Agen Masyarakat sebagai Staf Bentara Rakyat

Akhirnya Benteng Argumentasi "Kompas" Jebol

Diperbarui: 18 Juli 2022   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan saya dan teman-teman mahasiswa se-Indonesia di rubrik Argumentasi laman Kompas Kampus Harian Kompas. Dokpri

"Untuk meloloskan sebuah tulisan di harian Kompas alangkah sulitnya. Saringan masuknya mungkin berlapis-lapis dan berbelok-belok sehingga sukar ditembus. Bahkan, seorang penulis senior terkenal yang kini telah wafat pernah menyampaikan kepada saya, benteng Kompas memang tidak mudah diterjang," kata almarhum Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga guru bangsa Indonesia.

Apa yang dikemukakan Buya Syafii Maarif tentang Kompas itu sangat shahih-mutawattir. Bayangkan, untuk rubrik argumentasi saja, saya harus menerima penolakan berkali-kali hingga akhirnya nongol bareng cewek cantik sebagaimana terlihat pada gambar yang mendampingi cerita ini.

"Rupanya munculnya sebuah artikel di harian Kompas dirasakan sementara penulis sebagai kebanggaan dan kehormatan. Semakin ketat saringan itu, tetapi kemudian tulisannya dimuat, semakin tinggi rasa percaya diri penulis bersangkutan," jelas Buya dalam buku 50 tahun Kompas Memanggungkan Keindonesiaan di Mata Mereka, Penerbit Buku Kompas 2015.

Sebelum tulisan saya dimuat pada tema hidup sehat, saya berkonsentrasi penuh mempelajari tulisan-tulisan yang berhasil diterbitkan. Saya baca berkali-kali sehingga sangat paham dan tidak terlalu berharap untuk diterbitkan.

Untuk koran-koran lokal saya mudah menjangkaunya tanpa diedit sepeserpun. Langsung lolos. Mengapa demikian? Karena tidak ada honor. Berapapun tulisan yang kita kirim artikel opini ke harian lokal tak pernah ada honor.

Beda dengan harian Kompas, tulisan saya hanya 4 kalimat dan 250 karakter diberi suvernir menarik yang saya simpan sampai sekarang : baju Ulang Tahun Kompas, kalender, polpen Kompas, dan buku saku Kompas.

Hingga pada akhirnya, Buya menjelaskan, "Itulah Kompas di mata mereka yang sedang membangun kepercayaan diri lewat cetak. Tentunya Kompas merasa senang dengan fenomena demikian itu sehingga kualitas tulisan tetap terjamin, sebuah modal untuk terus berkembang dan membesar," kata Buya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline