Pada tanggal 15 Agustus 1962 New York Agreement ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia dan Belanda. Ada dua substansi pokok dalam perjanjian tersebut, yaitu : Penyerahan pemerintahan Papua oleh Belanda kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962 dan penyerahan dari UNTEA kepada Indonesia sesudah 1 Mei 1963, dan Act of Free Choice akan berlangsung 6 tahun sesudah penyerahan pemerintahan dari UNTEA kepada Pemerintah Indonesia. New York Agreement kemudian diterima Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 1752.
Perjanjian inilah kemudian menjadi dasar hukum restorasi Papua kedalam Kegara Kesatuan Republik Indonesia, setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian ini pada tanggal 1 September 1962 dan Pemerintah Belanda meratifikasinya tanggal 7 dan 13 September 1962. Terkait perjanjian ini, Sekretaris Jenderal PBB mengangkat Dubes Fernando Ortiz-Sanz dari Bolivia untuk advise, asssist, and participate in arrangements which are the responsibility of Indonesia for the act of free choice, having in mind the interests and welfare of the people in the territory ....
Sedangkan kewajiban Indonesia adalah mempersiapkan dan mengatur pelaksanaan Pepera (Pasal XVII dari Resolusi 1752). Pepera kemudian dilaksanakan pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969 dimana 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera yang berasal dari 9 Kabupaten memberikan suaranya mewakili masyarakat Papua. Mereka menyatakan tetap bergabung dengan Indonesia. Pada tanggal 19 November 1969, Sidang Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi 2504 (XVII) yang isinya takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fullfilment by the Secretary-General and his representatives of the task entrusted to them under the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (West Irian).
New York Agreement adalah perjanjian yang selalu menjadi topik perdebatan seru dalam masyarakat Papua tentang status politik Papua dalam NKRI. Apalagi menyangkut pelaksanaan Pepera yang diikuti oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Papua dengan tinjauan kekinian. Itu karenanya pandangan yang berpengaruh dan cukup mengemuka di Papua, kalau ingin menyelesaikan masalah Papua, maka status politik harus dituntaskan terlebih dahulu. Apapun diskursus tentang status politik ini, yang jelas Papua telah menjadi bagian integral dari NKRI.
Hampir semua negara-negara di dunia menghormati Resolusi 2504, kecuali beberapa negara Pasifik Barat Daya yang memberikan ruang untuk menjadi peserta Melanesia Spearhead Group (MSG) baru-baru ini. Makna hakiki dari kilasan sejarah ini, integrasi teritori telah usai. Status inilah yang seharusnya dirawat agar ia tumbuh kembang menjadi bagian integral yang semakin kokoh.
Diawal perjalanannya, Integrasi teritori tentu tidak serta menjadi kokoh. Sesuatu yang sangat lumrah dan manusiawi apabila terjadi resistensi dan penentangan disana-sini. Dengan kata lain Integrasi sosial masih rapuh. Yang terpenting adalah resistensi ini semakin hari harus mengecil. Point penting adalah inward looking apabila ternyata resistensi dan penentangan itu membesar seperti apa yang terjadi di Papua. Pasti ada yang salah! Ada apa dengan integrasi sosial dan bagaimana NKRI merawatnya?
Apabila mau mendengar dan mencerna teriakan masyarakat Papua, meraka selalu berteriak tentang hak dan status politik, hak azasi manusia, keadilan, kesejahteraan dan kemartabatan Orang Asli Papua (OAP). Teriakan masyarakat ini memang tidak semuanya benar, akan tetapi perasaan termariginalkan akut mau tidak mau mendorong masyarakat mengartikulasi pada hal-hal negatif. Akibatnya dimata sebagian masyarakat Papua apapun dilakukan pemerintah tidak akan mendapat apresiasi positif. Inilah semua substansi yang mendorong terjadinya integrasi sosial yang sangat dan semakin rapuh.
Menghadapi realita semacam ini, tentu dibutuhkan pikiran, langkah dan tindakan arif pemerintah dan semua pihak. Yang pasti pendekatan keamanan terbukti tidak menyelesaikan persoalan Papua, bahkan marginalisasi OAP menjadi semakin menguat serta kritikan internasional dan Dewan HAM PBB. Munculnya perlawanan politik yang memperkuat keinginan untuk menolak integrasi yang terjadi lima puluh tahun lalu, membuktikan kegagalan pendekatan keamanan dimasa lalu.
Berbagai pembenaran telah dilakukan untuk membenarkan tindakan perlawanan kepada pemerintah. Persoalan integrasi sosial yang rapuh harus diurai dan dicari cara penguatannya. Pendekatan kesejahteraan diperkuat diplomasi yang kokoh diluar negeri harus menjadi strategi yang dipilih dan dijalankan Pemerintah.
Memang, sejak diundangkannya Otonomi khusus di Papua melalui UU Nomor. 21/2001 adalah awal dilakukannya pendekatan kesejahteraan di Papua. Bahkan, mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua merupakan pembuka pendekatan kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, keberanian Gus Dur mengatakan silakan bendera Bintang Kejora di kibarkan asal bersama dan lebih rendah dari pada bendera Merah Putih patut diacungi jempol dan diamini masyarakat Papua. Terbukti OAP memberikan apresiasi terhadap langkah yang dilakukan oleh Pemerintah kala itu.
Sayang, dalam mengisi pendekatan kesejahteraan itu tidak ditemukan kata sepakat diantara aktor-aktor negara. Berbagai kebijakan negara yang ditempuh apakah melalui Undang-Undang, Inpres atau Perpres juga kurang disambut ramah oleh aktor-aktor pemerintah sendiri. Sangat sulit menemukan kata sepakat untuk merawat Papua. Bahkan, ketika MSG menerima Papua sebagai pengamat dan berkembang menjadi dari MSG menuju PIF (Pacific Island Forum) yang terjadi justru kebakaran jenggot. Ini adalah proses panjang yang sudah diprediksi tetapi tidak disikapi secara kongkrit. Pernyataan demi pernyataan pejabat pemerintah justru memperkeruh keadaan dan menimbulkan resistensi yang semakin dalam. Kata singkat yang dapat digunakan adalah yang konsisten hanyalah inkonsistensi.