Ketika Presiden melalukan inspeksi mendadak di salah satu gudang beras pemerintah beberapa hari yang lalu di Jawa Tengah, setelah mengamati, beliau kemudian beranggapan bahwa BULOG masih belum sepenuh nya menjalankan tugas dan peran nya. Tidak melakukan pembelian gabah ketika panen raya padahal dana untuk pembelian tersedia. Ada mesin pengering gabah yang tidak berfungsi atau tidak difungsikan. Dan ada kenyataan lain bahwa harga gabah basah ketika panen musim tanam pertama 2016 di Kabupaten Ngawi hanya Rp 2.100/kg, padahal harga pembelian pemerintah adalah Rp 3.700/kg.
Salah satu pejabat senior pemerintah memberikan pernyataan bahwa sebenar nya BULOG telah diberikan kewenangan untuk menyewa atau membeli mesin pengering. Jika BULOG belum menjalankan tugas dan peran yang diemban nya, maka pernyataan ini seharus nya dipertanyakan karena tidak jelas sebenarnya peran apa yang di inginkan pemerintah dari BULOG. Mengingat sejarah nya, BULOG pernah mengalami masa-masa kelam yang mungkin membuat pemerintah masih enggan untuk memberikan kepercayaan yang lebih luas kepada BULOG dalam menangani masalah-masalah pangan. Bahkan yang paling mendasar sekalipun.
Mungkin pendapat ini salah, tetapi nampak nya dana untuk pengadaan gabah/ beras petani masih berasal dari sumber-sumber komersial dan belum jelas apakah biaya untuk pengeringan dan penyimpanan mendapatkan alokasi yang cukup ?
Ketika BULOG mulai dibentuk pada 1967, pola bekerja dan standar operasi untuk menangani masalah pangan, terutama beras, adalah dengan pola pendekatan teritorial sebagaimana layak nya pendekatan kemiliteran. Ini merujuk kepada kenyataan bahwa Indonesia baru saja mengisi kemerdekaan dan perang kemerdekaan merupakan pengalaman yang paling nyata. Pemerintah pada saat itu menyadari bahwa rakyat yang berbahagia adalah rakyat yang kenyang perut nya setelah berjuang sekina lama.
Sejak awal kemerdekaan, masalah pangan d.h.i. lebih dititik-beratkan kepada masalah distribusi nya. Yayasan Bahan Makanan yang dibentuk awal tahun 50-an dikembangkan sebagai lembaga pangan untuk menjaga cadangan beras dengan pengadaan melalui impor, menyangga harga beras dan terutama, distribusi nya. Negara kepulauan Indonesia belum memiliki infrastruktur angkutan antar-pulau menyebabkan masalah distribusi merupakan pekerjaan yang besar. Memang masih sedikit ‘Jawa sentris’,
Pada tahun 1963 kemudian dibentuk tiga lembaga khusus yang masing-masing menangani pembelian/impor beras, membeli gabah petani dan melakukan distribusi beras ke seluruh pelosok negeri. Kondisi perekonomian dan keterbatasan devisa pada saat itu menyebabkan lembaga-lembaga ini tidak dapat berfungsi dengan baik sebagaimana rencana semula.
Sampai hari ini pun pada dasar nya paradigma penanganan pangan masih tetap sama, namun kelebihan nya adalah pemerintah telah memiliki semua kemampuan yang diperlukan guna menangani masalah-masalah pangan yang sudah lebih berkembang dan maju. Yang diperlukan pemerintah sekarang adalah suatu rencana strategis pembangunan pertanian dan pangan yang lintas bidang, serba-cakup dengan memperhatikan peningkatan jumlah penduduk untuk di imbangi pembangunan pertanian yang mendukung.
Beberapa pendekatan subsidi bidang pertanian oleh pemerintah nampak nya lebih banyak diberikan untuk wilayah on-farm. Benih unggul gratis, pupuk kimia majemuk gratis yang sering-sering belum sesuai kandungan pembentuk nya. Hibah traktor tangan untuk mengolah tanah yang tidak didukung pihak pabrikan dalam bentuk penyediaan suku-cadang, tidak cukup tersedia pusat-pusat perbaikan/reparasi dan teknisi yang mumpuni.
Belum ada pembangunan pertanian wilayah off-farm yang dikerjakan dengan bersungguh-sungguh. Bantuan mesin panen yang minim suku-cadang, minim pusat-pusat reparasi dan ketersediaan teknisi yang cepat dan andal. Bantuan mesin pengering gabah dengan teknologi yang sudah usang dan boros energi, Bantuan mesin penggilingan padi yang tidak sepenuh nya efisien sehingga mutu beras yang dihasilkan rendah. Memamng belum saat nya untuk berbicara tentang mutu beras dengan standar yang setara dengan standar internasional. Kita memang belum punya. Baru mau akan.
Campur-tangan pemerintah seperti ini sebaik nya lebih banyak dikurangi, mengingat subsidi yang digelontorkan amat besar namun hasil masih belum sesuai. Bantuan/hibah yang diberikan kepada petani sering-sering tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Program bantuan benih unggul (dan gratis) mematikan gairah dan semangat penangkar dan pemulia benih lokal. Mematikan budaya dan kearifan lokal. Pemberi bantuan tidak berkepentingan dengan penerima bantuan.
Kedaulatan pangan, swa-sembada pangan apatah lagi kesejahteraan petani, masih berupa jalan yang panjang. Konsep-konsep ketersediaan pangan, menjaga cadangan pangan, keterjangkauan, dst nya, yang notabene sudah menjadi ikon pembangunan pertanian dan pangan seyogya nya perlu dibedah dan dikaji lebih teliti lagi sehingga konsep-konsep ini dapat di terapkan di dunia nyata. Dan dengan demikian, pemerintah tentu akan mampu untuk secara cepat dan tepat mempersiapkan program-program pembangunan pertanian yang serba-cakup, lintas-bidang, lengkap dan terukur.