Lihat ke Halaman Asli

E… Dhayohhe Teka

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

E, dhayohhe teka / E, tamunya datang

E, beberno kloso / E, gelarkan tikar

E, klosone bedhah / E, tikarnya robek

E, tembelen jadah / E, tamballah dengan jadah

E, jadahe mambu / E, jadahnya basi

E, pakakno asu / E, kasihkan saja pada anjing

E, asune mati / E, anijngnya mati

E, kelekno kali / E, hanyutkan saja ke sungai

E, kaline banjir / E, sungainya banjir

E, kelekno pinggir / E, hanyutkan saja di pinggir

Bait syair diatas merupakan lagu dolanan yang (dulu) sangat popular dikalangan anak-anak masyarakat jawa. Seperti lazimnya, lagu diatas memuat ajaran budi yang tinggi, meskipun “hanya” berupa lagu dolanan anak-anak. Itulah salah satu cirri khas jawa, menyelipkan ajaran moral dalam setiap bentuk produk budaya. Wong jawa panggone semu, orang jawa tempatnya pesan tersembunyi, isyarat luhur dibalik setiap symbol.

Lalu ajaran apa yang tergambar dalam bait syair di atas??. Syair diatas menggambarkan manusia yang tidak punya tujuan pasti, sehingga sering terhanyut oleh geraknya fenomena-fenomena yang berubah-ubah.. Ketika ada tamu yang datang, kita keburu sibuk menyiapkan tikar, ternyata tikarnya robek, kita jadi sibuk mengurusi tikar itu, berusaha menambalnya, tetapi dengan jadah (makanan tradisional berbahan baku ketan), namun ternyata jadah nya basi, kita sibuk mengurusinya dengan memberikannya kepada anjing, anjing kok diberi makan jadah. Ternyata anjingnya mati, kemudian kita jadi sibuk mengurusi bangkai anjing. Maka pergilah kita ke sungai untuk membuang bangkai si anjing, tapi ternyata sungainya banjir, karena terdesak akhirnya kita membuangnya di pinggiran sungai.Lalu, bagaimana dengan tamu yang datang tadi?, sudah pasti terbengkalai, tak tahu lagi apakah si tamu masih di rumah kita atau sudah pulang.

Panca indera bukan pengendali, tetapi wajib dikendalikan. Dalam suatu kesempatan Mas Poerwoto Hadipoernomo sang Guru Besar dari salah satu Perguruan Pencak Silat Indonesia, memberikan wejangan bahwa; kualitas sesorang ditentukan oleh bagaimana dia mensikapi segala bentuk informasi yang memasukipanca inderanya. Fenomena apapun yang memasuki panca indera kita, budi harus tetap terang benderang, rasa harus tetap tenang, takzim, tumakninah menghadap Gusti Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain tetap tertuju kepada tujuan hidup. Tuhan itu sendirilah sang tujuan, karena innalillahi wa inna ilaihi rojiun, dari Tuhan kita berasal, kepada Tuhan kita akan kembali. Jika tujuan kita menyimpang maka yang terjadi adalah mati penasaran, mrayang (dalam istilah orang jawa), alias tak sampai tujuan. Jawa melukiskan tujuan hidup itu dalam frasa (mangerteni) sangkan paraning dumadi (asal dan kembalinya hidup). Setelah mengerti lalu menjadikannya sebagai tujuan pokok yang terus dipegang erat agar slamet, rahayu, wilujeng, bali menyangasale kang sayekti..

Salam Budaya..!!!.

Ponorogo, 30 Desember 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline