Lihat ke Halaman Asli

Bersatu Melawan Covid-19

Diperbarui: 13 September 2020   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah opini dari Dr. Jenna Price, seorang kolumnis sekaligus akademisi dari the University of Technology Sydney, Australia di harian Sydney Morning Herald, Australia (27 Juli 2020).  

Opini Dr Jenna sesungguhnya sebagai suatu ungkapan kejengkelannya terhadap seorang perempuan muda bernama Kerry Nash karena dipicu oleh sebuah video viral di Twitter yang diunduh oleh Cam Smith (@sexenheimer) yang menampilkan tensi percakapan antara Nash dengan pegawai retail toko Bunnings di Negara bagian Victoria seputar penggunaan masker pelindung wajah dari virus corona.

 Nash menolak meskipun pegawai toko itu dengan sopan menanyakan masker jika ia memiliki dan memakainya karena itu adalah aturan memasuki toko yang harus dipatuhi. Namun Nash dengan ketus merespon, "It's clear I don't and you are not authorized to ask me or question about it". 

Lalu Nash justru merekam interaksi tersebut dalam ponselnya dan bermaksud menuntut pegawai retail itu ke pengadilan dengan tuntutan pelanggaran hak asasi. Kemudian iapun melaporkan kejadian itu kepada polisi dan kemungkinan akan menggunakan rekaman ponselnya sebagai alat bukti di pengadilan ( tentu kalau dikabulkan hakim). Banyak netizen yang menjuluki perilaku Nash tersebut sebagai perbuatan yang tercela (Deplorable behaviour).

Nash hanyalah salah satu diantara sekian banyak orang, mungkin diantara jutaan orang dari berbagai belahan dunia yang merasa dilanggar hak asasinya ketika harus menggunakan masker. Apa yang ada di dalam pikiran kelompok orang ini adalah "their individual rights  are more important than the collective". 

Hak individu mereka merasa dilanggar jika harus mematuhi anjuran bermasker, sekalipun tujuannya untuk kebaikan dan kepentingan yang lebih besar termasuk untuk kelompoknya. Menggunakan masker selain untuk keamanan dan keselamatan diri sendiri dan orang lain, juga untuk melindungi kaum yang tergolong rentan (vulnerable). 

Padahal jika suatu komunitas menggunakan masker hingga mencapai 80 hingga 90 persen saja serta tetap menghindari kerumunan, nilainya setingkat dengan melakukan  karantina lengkap (complete shutdown) begitu menurut Dr Brett P.Giroir, the US assistant secretary for health pada NBC Program.

Menggunakan masker dan mematuhi protokol kesehatan seharusnya tetap dilakukan mengingat angka terkonfirmasi virus corona belum menampakkan tanda tanda penurunan signifikan. Hingga tulisan ini dibuat jumlah terkonfirmasi virus corona baik di seluruh dunia maupun di Indonesia khususnya, belum menunjukkan tanda tanda menggembirakan. Angka terkonfirmasi virus di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 29 juta orang dengan jumlah kematian mencapai 924 ribu orang lebih. 

Sementara di Indonesia sendiri setelah lebih dari enam bulan menanggulangi virus, jumlah terkonfirmasi positip mencapai lebih dari 218 ribu orang, dengan jumlah orang meninggal mencapai  8700 orang lebih(Worldometers.info, September 2020).

PANDEMIC versus PLANDEMIC?

Sangat disayangkan, ditengah usaha keras setiap negara di dunia dalam memerangi pandemi Covid-19, berkembang pula usaha keras  kelompok orang yang menganggap pandemi sebagai sesuatu yang diadakan. Bahkan kelompok ini melempar tuduhan bahwa pandemi sebagai suatu konspirasi yang direncanakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline