Peradaban bangsa selalu saja di hiasi dengan sejarah penindasan, pemerasan serta penghianatan dari masa ke masa, dimulai dari era kerajaan, era kemerdekaan bangsa Indonesia sampai ke era modern saat ini dan kemudian meninggalkan luka yang mendalam hingga menjadi dendam yang tidak berkesudahan, sejarah tentang pemerasan dan penghianatan seakan tak lekang oleh waktu dan terus menjadi bagian yang tak terlepaskan dari sejarah ummat manusia, peristiwa tentang sejarah kelam itu seakan menjadi warisan yang tidak mungkin bisa di hindari, bahkan Soe Hok Gie pun berkata melalui catatan hariannya bahwa "Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan, sejarah tidak ada ? apakah tanpa kesedihan, tanpa penghianatan sejarah tidak akan lahir ? seolah-olah bila kita membagi sejarah maka yang kita jumpai hanya penghianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup atasnya. Ya, betapa tragisnya hidup adalah penderitaan". Kini kita juga tengah melihat dan merasakan betapa para pengkhianat terhadap bangsa mereka sendiri dilakukan tanpa rasa malu. Tak harus diartikan berkhianat hanya dalam perang fisik. Koruptor itulah para pengkhianat bangsa yang amat berbahaya, dan kalau menurut saya penghianatan koruptor terhadap bangsa dan negara ini sedemikian massif dan sistematis yang mengakibatkan kerusakan yang begitu besar, baik secara ekonomi maupun secara moral.
Sebagai contoh perilaku korupsi yang dilakukan oleh elite politik yang mestinya menjadi ruang untuk mendistribusikan keadilan menjadi porak-poranda di tangan politikus yang hanya paham transaksi. Politikus yang terjerat dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan rakyat Rp2,3 triliun sesungguhnya hanya menguatkan realitas politik yang teramat kotor itu. Perilaku seperti ini menjadi contoh buruk dan dicatat oleh sejarah peradaban bangsa yang semakin melegitimasi ketidak percayaan rakyat dengan para pejabat serta partai politik, yang ketika pada kontestasi pemilihan umum datang mengemis namun ketika mencapai singgasana menginjak-menginjak hak rakyat, politis seperti sudah selayaknya di hukum mati. Peristiwa seperti ini menemukan relevansinya ketika seorang wartawan bertanya kepada filsuf Jean-Jacques Rousseau, "Kenapa demokrasi di Romawi runtuh?" Ia menjawab, "Demokrasi itu ibarat buah yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya.
Kemudian peristiwa korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial, dimana negara sedang berjuang untuk lepas dari keadaan yang begitu sulit, bantuan yang harusnya diterima oleh kalangan masyarakat menengah kebawah, dengan keji dan tanpa melihat kondisi rakyat yang sedang susah bantuan tersebut malah di korupsi, rakyat sudah sangat muak dengan kelakuan kotor para pejabat yang tidak mempunyai moralitas, tidak mempunya rasa kasih dan cenderung memperkaya diri sendiri, kelompoknya bahkan partainya. Sebagai efek jera harusnya orang-orang seperti ini di gantung di monumen nasional dan di tonton oleh rakyat Indonesia sebagai efek jera untuk para penghianat bangsa ini.
Kejahatan yang terstruktur dan massif ini akan terus membudaya di kalangan elit politik dan pemangku kebijakan yang tidak mempunyai Nurani untuk bangsanya sendiri, kata lain dari penghianatan dan pemerasan era modern ini adalah korupsi yang merajalela dan seakan hari-hari kita dijejali oleh informasi pejabat yang semakin buas memakan uang rakyat, dan kemudian negara sepertinya melempem dengan perilaku para koruptor yang secara nyata merusak stabilitas negara ini. Kita harusnya malu pada para pendahulu kita yang berjuang demi lepas dari bangsa kolonialis yang menghisap rakyat, mereka berjuang habis-habisan baik jiwa maupun raganya untuk menegakan kedaulatan bangsa ini, untuk memperbaiki bangsa ini agar kita di hormati dan di hargai oleh bangsa-bangsa lainnya.
Politisi hari ini dan pejabat yang duduk di pemerintahan seakan sebagai pelengkap semata, tidak ada langkah kongkrit dalam melakukan perbaikan-perbaikan yang signifikan, mereka miskin ide dan gagasan, yang di lakukan hari ini hanyalah pencitraan semata, kisah pilu tentang kemiskinan seakan menjadi bagian yang tak kunjung usai yang terus di alami oleh bangsa ini setelah kemerdekaan di rengkuh, nyanyian tentang rakyat yang sejahtera dan bumi yang subur seakan menjadi dongeng pengantar tidur semata, faktanya rakyat semakin susah, pekerjaan semakin sempit seakan kita hidup dalam cerobong asap yang sesak dan tidak punya harapan lagi untuk hidup, bahkan hidup yang lebih baik.
Tan Malaka berkata dalam bukunya bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya di miliki oleh pemuda. Kita tentu tidak akan membiarkan bangsa ini hancur oleh keserakahan politisi-politisi busuk yang terus menerus menghisap keringat rakyat, semua yang dilakukan politisi hari ini hanya untuk merebut hati rakyat tanpa mau tahu penderitaan-penderitaan yang sedang rakyat alami. Negara harus hadir dan memberikan efek jera, jika hukum hari ini tidak mampu lagi memberikan rasa malu kepada para pelaku korupsi yang berkhianat pada bangsa dan negara ini, tidak ada jalan lain selain memberikan hukuman mati atau di kebiri sekalian, karena sejatinya para pelaku korupsi itu sudah mati, baik hati dan nuraninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H