Fenomema Guru (Honorer) sudah menjadi bagian dari cerita yang usang dinegeri ini, Heroisme dan dinamika dunia pendidikan seakan enggan untuk maju kedepan seperti yang di cita-citakan para pendahulu bangsa ini, semua sektor pendidikan yang hari ini dikapitalisasi oleh segelintir orang menjadi faktor kemunduruan di era yang semakin maju, serta cerita-cerita guru yang hidupnya jauh dari kata sejahtera bahkan bisa dikatakan hidup melarat, padahal guru-guru tersebutlah yang banyak menciptakan Menteri-menteri, Pejabat-pejabat dari pusat sapat daerah dan bahkan sampai ke Presiden sekalipun. Sekolahan yang menjadi laboratorium manusia dalam menyiapkan kader-kader bangsanya justru tidak mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan bangsa ini. yang seringkali mengalami distrorsi sosial, baik di ruang lingkup sekolahan ataupun di tengah-tengah masyarakatnya.
Beban berat kehidupan guru seringkali tidak sesuai dengan apa yang di berikan bangsa dan negara ini, dengan upah yang tidak seberapa bahkan dengan dibayar kurang dari 1jt/bln dalam pengabdiannya untuk memperbaiki akhlak serta pola pikir anak bangsa, yang sesungguhnya tidak linear antara kebijakan pemerintah pusat serta pemerintah daerah serta korelasi bagi kehidupan guru yang bertolak belakang, Konsekuensi serta sangsi sosial jika guru tersebut gagal melakukanya tugas dan tanggung jawabnya dalam mencerdaskan anak bangsa, maka yang dia dapat adalah sangsi kedinasan serta sangsi sosial dari lingkunganya. Dengan stigma Guru lantaran tidak mampu mencerdaskan murid-muridnya.
Dalam mencerdaskan anak bangsa tentu bukan tugas seorang tenaga pendidik semata, melainkan menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia dan seluruh stakeholder, baik dari kalangan legislative, Eksekutif, sampai ke Yudikatif atau masyarakat secara keeseluruhan, artinya semua ikut berperan dalam konteks edukasi serta informasi yang bekaitan dengan dunia Pendidikan yang erat kaitanya dengan moral manusia atau menjaga lingkungan dan prilaku hidup ditengah-tengah masyarakat agar tetap positif, kondisi lingkungan sekitar sedikit banyaknya mempengaruhi proses tumbuh kembang seorang anak didik dan menentukan generasi bangsa yang notabene disiapkan sebagai pewaris bangsa ini. Mari kita belajar dari sejarah Gerakan anak bangsa yang peduli terhadap nasib bangsanya, contohnya Gerakan Budi Utomo pada tahun 1908, yng dimana masyarakatnya terjajah dan kehilangan hak untuk mendapatkan sekolahan yang layak pada masa itu, Perkumpulan Budi Utomo banyak melahirkan generasi-generasi yang mempunyai jiwa nasionalisme tinggi dan manifestasi gerakannya berkintibusi besar terhadap sejarah perjuangan bangsa. yang kemudian di ikuti organisasi -- organisasi lain yang begitu peduli terhadap nasib bangsa, kita bisa bayangkan betapa sulitnya perjuangan pendahulu kita dalam membangun semangat untuk bisa lepas dari segala bentuk penjajahan, lepas dari segala bentuk pembodohan manusia atas manusia lainnya. Pada masa itu semuanya serempak hingga mencapai satu kesadaran Bersama bahwa melawan segala bentuk penindasan adalah sebuah keharusan, dan mendiamkan kebodohan adalah kejahatan yang harus segera di sudahi.
Coba kita lihat Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang didasarkan pada asas kemerdekaan, memiliki arti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat. Maka dari hal itu, diharapkan seorang peserta didik harus memiliki jiwa merdeka dalam artian merdeka secara lahir dan batin serta tenaganya. Jiwa yang merdeka sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte oleh negara lain. Ki Hadjar Dewantara memiliki istilah sistem among, yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya.
Dan kemudian Tan Malaka menulis di bukunya tentang prinsip Pendidikan itu sendiri ialah "Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan". Yang artinya tujuan dari Pendidikan itu sendiri bisa melahirkan anak didik selain cerdas sebagai tujuan utama, namun yang lebih penting dari itu semua ialah mencetak generasi bangsa yang halus jiwanya terhadap sasama anak bangsa,serta keras kemuannya dalam memegang teguh prinsip-prinsip kemanusiaan.
Soe Hok Gie mengungkapkan prinsip nya yang tertuang didalam buku catatan hariannya bahwa "Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita". Gie berharap manusia bisa lebih peka terhadap sesama, lebih mencintai bangsanya serta lebih merasai penderitaan kaum-kaum yang tertindas baik secara ekonomi maupun secara pendidikan, dan ini semua bis akita raih serta bisa dimanifestasikan jika Pendidikan kita sudah seperti apa yang para pendahulu kita harapkan, yang kemudian menjadi prinsip-prinsip anak bangsa.
Perlu kita lihat juga bahwa prilaku manusia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh informasi lewat media pertelevisian, media sosial serta beberapa media mainstream lainya, Ironis memang Ketika guru digaji ratusan ribu untuk memperbaiki kondisi-kondisi bangsa. Sedangkan industri kreatif yang hampir mendominasi dihampir setiap sendi-sendi kehidupan manusia seringkali tidak menyajikan informasi yang mendidik dan cenderung berdampak negative kepada anak-anak saat ini.
Artis-artis serta konten kreator yang dibayar ratusan juta bahkan milyaran tidak sedikit yang pada akhirnya merusak moral anak bangsa, penggunaan internet yang belakangan menjadi kebutuhan primer seakan tidak ada kontrol, baik dari pemerintah sebagai badan yang mempunyai otoritas dan kewenangan untuk membatasi unsur-unsur negatif serta peran orang tua yang pasiff hingga pada akhirnya memudahkan anak-anak bisa dengan gampang mengakses informasi apapun yang tersedia di platfrom media-media sosial serta industry hiburan pertelevisian.
Dari uruain diatas dapat kita simpulkan prinsip-prinsip serta tujuan mulia seorang guru dalam menciptakan generasi-generasi Indonesia yang sehat, generasi yang mencintai sesama, dan dapat lebih peka terhadap kondisi bangsa saat ini serta dapat mengorbankan jiwa raganya agar bangsa ini merdeka secara kaffah. Dengan kondisi saat ini tentu kita tidak akan membiarkan guru-guru diseluruh pelosok negeri ini berjuang sendirian, dewasa ini kita butuh konsepsi-konsepsi sebagai bangsa untuk berkontribusi secara nyata terhadap dunia Pendidikan dengan cara yang paling sederhana, yaitu membangun lingkungan serta merawat nalar yang sehat dan sadar terhadap kodisi-kondisi lingkungan yang berpotensi mendapat dampak buruk terhadap Pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak kita. Dan kotrol orang tua serta peran pemerintah dalam melindungi hak warga negara, dan menjamin rakyatnya dalam memperoleh ilmu dan pengetahuan yang sehat, Hingga kemudian menjadi Satu kesadaran Bersama serta menjadi barometer perbaikan-perbaikan yang kongkret dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan untuk guru-guru honorer di seluruh Indonesia, Kalian yang dengan tulus mengajarkan kami tentang makna kehidupan, janganlah menyerah, jangan patah semangat dalam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, kalian yang mengajarkan kami untuk mencintai negara ini dengan tulus, serta kalian yang mencipta generasi emas, generasi yang kemudian menjadi kebanggaan bangsa Indonesia dikemudian hari. Jangan Lelah, jangan resah, segala yang dikorbankan untuk bangsa dan negara ini, akan dicatat oleh sejarah dan menjadi amal jariyah untuk menuju kehidupan yang kekal. Meskipun keadilan seringkali bertabrakan dengan realitas yang ada. Namun kalian tetap pahlawan tanpa tanda jasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H