Presiden Jokowi pasrah saja setelah MK "mempereteli" kewenangan Mendagri dalam hal mencabut perda yang bermasalah . 4 April 2017, MK membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri mencabut peraturan daerah bermasalah berlaku setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diajukan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan sejumlah pihak.
Sebelumnya, Presiden Jokowi semangat banget memerintahkan Mendagri untuk membatalkan sejumlah Perda. " Ndak usah dikoja-kaji lagi, batalkan saja! " perintahnya. Walhasil, Presiden Joko Widodo mengumumkan pembatalan 3.143 peraturan daerah yang disebutnya bermasalah.
Diantara ribuan perda bermasalah itu kebanyakan soal investasi dan ekeonomi. Perda yang disebut intoleransi atau sekarang yang lebih dikenal dengan perda syariah cuma 25 persen.
Tapi bukan soal 25 persennya itu. Soal apa yang dimaksud perda syariah itu tidak jelas. Seberapa kadar syariahnya hingga perda itu bisa disebut perda syariah. Soalnya, 25 persen itu tidak termasuk Perda Nomor 20 Tahun 2010 tentang penertiban penyakit masyarakat yang berlaku di Kota Serang yang melambungkan nama Ibu Saenih, pemilik Warteg yang kebanjiran hadiah dari sejumlah pihak termasuk Presiden Jokowi. Padahal Perda itu yang bikin sejumlah LSM berteriak kompak, batalkan perda syariah!
Sebenarnya sih Perda 20 tahun 2010 pemda Serang itu sudah di tangan Mendagri, sudah menjadi beberapa lembar kertas yang tidak berdaya. Tinggal sekali gorok, perda itu akan menemui ajalnya. Tapi kenapa mendadak Mendagri takut mengeksekusi perda itu?
Setelah gelombang simpati kepada Bu Saenih mulai berkurang, gantian gelombang dukungan terhadap perda itu datang silih berganti, wabil khusus dari para ulama lokal Serang dan sekitarnya sampai tingkat nasional. Ketum MUI, KH. Ma'ruf Amin dengan tegas mendukung perda itu.
Kalau cuma berlabel ulama yang menolak pembatalan perda itu sih gampang. Tinggal tuduh saja sebagai kelompok radikal, selesai. Tapi kalau sudah KH. Ma'ruf Amin yang selama ini dekat dengan pemerintah sudah ikutan bersuara, cukup bikin pemerintah serba salah.
Ditambah lagi, Mendagri mengaku hapenya dibanjiri pertanyaan soal pembatalan perda syariah. AKhirnya, dia bikin pernyataan bersayap, tidak ada perda syariah yang dicabut. Padahal maksudnya perda 20 tahun 2010 itu yang tidak dicabut. Entahlah perda intoleransi yang 25 persen itu. Ujung cerita, perda 20 tahun 2010 itu cuma diminta revisi beberapa bagain saja.
Sejak itu suara yang anti perda syariah nyaris tak terdengar. Kalau pun ada, paling banter setingkat bisik-bisik tetangga. Sampai Sis Grace berpidato di depan kader PSI dan depan bro Jokowi.
Dengan tegas sis Grace menyatakan "perang" terhadap perda syariah. Supaya tidak kedengaran memusuhi perda satu agama saja, sis Grace mengambil jalan memutar dengan menyebut terlebih dahulu perda injil. Tetap saja yang rame adalah soal perda syariah.
Sis Grace bukan mendagri, bukan pula presiden, partainya pun masih nol koma. Walaupun gagasannya itu ditentang oleh cawapres yang didukungnya, walaupun dijegal oleh PPP, parpol sekoalisinya, walaupun dicicbir oleh TGB, ulama yang dihormatinya, dia cuek saja.