Poster dan Stiker "Raja Jokowi" dengan logo PDIP tersebar di 27 kabupaten kota di Jawa Tengah. Dipasang di tempat yang terlarang, belum waktunya pula. Jelas ini pelanggaran kampanye. Bawaslu belum mengeluarkan sempritan, PDIP sudah marah duluan.
PDIP tidak mengakui kalau itu poster buatannya, apalagi memasngnya. Pertama, secara estetika dan filosofi itu bukan gaya kampanye PDIP. Masa Capres Jokowi didandanin seperti Raja Ketoprak. Jokowi itu Presiden. Mestinya pake peci hitam dari bahan beludru pilihan, pake jas hitam, baju putih, dasi warna merah. Itu baru bener. Senyumnya juga nggak kaya di poster itu, kurang berwibawa. Senyum kan banyak jenisnya. Itu mah senyuman khas Raja Ketoprak atawa Raja Lenong Dines. Pendek kata, menurut PDIP gambar Jokowi di poster itu bukannya memuji Jokowi, malah ngeledek.
Kalau bukan bikinan PDIP, lantas bikinan siapa? PDIP menuding ada pihak yang melakukan kampanye hitam. Walaupun tidak menyebut nama si pihak, tapi karena pilpres cuma diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres, mudah ditebak siapa yang dimaksud dengan si pihak itu.
Cuma pertiinnyi, poster yang dipasang di 27 kabupaten kota, bukan hanya dipaku di pohon-pohon, tapi juga ditempel di angkutan umum, di kandang banteng pula, masa sih ada pihak luar yang luar biasa nekad. Bikin poster sebegitu banyaknya butuh biaya yang lumayan banyak. Masangnya juga nggak bsia sendirian dan nggak bisa sambil mindik-mindik.
Sebenarnya kalau mau tahu siapa yang bikin poster segitu banyaknya, sebelum dipasang sudah gampang diketahui sejak di percetakan. Kalau sampai sudah dipasang juga masih tidak diketahui siapa pembuatnya, bukan hanya kepala berbie yang pusing, kepala babe juga keliyengan mencari logikanya. Ditambah lagi, belum diketahui pembuatnya tapi sudah bisa dipastikan siapa tertuduhnya, ya si pihak itu.
Memang paling gampang menuduh si pihak, karena pihak tidak kelihatan. Dia seperti gerombolan makhluk halus. Evengersnya dunia halus. Ada Genderuwo krimbat, kuntil anak keramas, pocong jarang mandi, hantu jeruk nipis, dan banyak lagi yang lainnyaaaa...
Dua kasus sebelumnya, kasus videotron dan iklan Media Indonesia juga sampai sekarang tidak diketahui siapa pembuatnya. Padahal dalam kasus kampanye Jokowi via Videotron, Bawaslu DKI sudah kasih stempel bersalah tapi nggak bisa ngasih teguran pada timses Jokowi karena pembuat video itu belum diketahui.
Jadi ceritanya begini. Kalau kita mau melaporkan peristiwa pelanggran kampanye jangan samakan dengan kita melaporkan kecopetan. Kalau dalam kasus kecopetan, tugas polisi mencari pencopetnya. Kalau pelanggaran kampanye, kita yang mesti menangkap, minimal motret pelakunya. Kita harus berperan sebagai detektif pemilu. Bawaslu tinggal terima matang.
Curi start kampanye Jokowi di Media Indonesia beda lagi. Bawaslu bilang, timses Jokowi bersalah. Tapi Bawaslu nggak bisa ambil keputusan sendirian. Dia tergabung dalam trio Bawaslu- Polisi -- Jaksa. Bahasa resminya, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu.) Biar kata Bawaslu sampai salto bilang bersalah, kalau Jaksa dan polisi bilang nggak bersalah, Bawaslu harus nurut apa kata polisi dan jaksa. Walahasil kasus itu pun dihentikan.
Walaupun sekelas pakar hukum dosen Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir bilang, pembuktian kasus itu gampang. Penegak hukum harusnya mengacu pada jadwal kampanye di media massa yang sudah ada pada UU Pemilu dan PKPU 32/2018. Pada kedua aturan itu disebut jelas, kampanye di media massa baru bisa dilakukan 21 hari sebelum masa tenang Pemilu 2019.
"Ini kan sederhana, sebut saja jadwal kampanye di media misalnya tanggal 1, dia belum tanggal 1 sudah pasang. Lah kan salah," kata Muzakir kepada reporter Tirto. Ya, tetap saja bagi Gakkumdu itu pendapat yang nggak bermutu.