Sebenarnya UAS tidak ada maksud membantah siapa pun saat di wawancarai TV One soal bendera tauhid. Juga tidak bermaksud membantah TGB, sahabatnya sesama alumni Alzhar, Mesir yang sebelumnya mengatakan bendera Arroya dan Alliwa digunakan Rasulullah hanya untuk perang, bukan saat damai. Tapi rupanya media online, media sosial sudah keburu mengadu ucapan UAS dengan ucapan TGB.
Bagusnya TGB sampai saat ini tidak "melawan balik" ucapan UAS. Barangkali UAS pun tidak nyaman ucapannya dijadikan bahan aduan dengan sahabatnya itu. UAS hanya ingin membagi ilmu yang dimilikinya kepada umat. Agar umat cukup bisa memahami. UAS menjelaskannya dengan sangat rinci disertakan dalil-dalilnya.
UAS mengatakan bahwa bendera Arroya dan Alliwa, selanjutnya sebut saja bendera tauhid. Bukan hanya digunakan saat perang saja tapi juga saat damai. UAS mengambil contoh saat damai adalah saat peristiwa Fathu Makkah bendera tauhid itu juga dikibarkan.
Barangkali disinilah perbedaan pemaknaan Fathu Makkah antara UAS dan TGB. Soal Fathu Makkah kan peristiwa yang sangat populer yang sudah diajarkan sejak ibtidaiyah. Fathu Makkah sering disebut juga penaklukan kota Makkah. Nabi Muhammad SAW bersama sepuluh ribu ( ada yang menyebut lima belas ribu ) pasukan kaum muslimin "mengambil alih" kota Makkah, kota kelahiran Nabi sejak beliau diusir dari kota Makkah.
Fathu Makkah adalah penaklukan kota Makkah. Barangkali --sekali lagi, barangkali --makna inilah yang oleh TGB dianggap sebagai masih suasana perang, walaupun tanpa setetes pun darah mengalir. Tapi bagi UAS, yang berdasarkan ayat 1 surah Alfath yang dikutipnya, ""Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." dan ucapan Nabi yang mengatakan bahwa hari penaklukan itu adalah , hadza yaumul marhamah, ini adalah hari kasih sayang. Jadi menurut UAS adalah bukan suasana perang, tapi suasana damai. Sudah,ya. Jangan lagi mengadu UAS dengan TGB.
Memang sudah menjadi kebiasaan TGB, setiap memberikan pernyataan ke media tidak diiringi dengan penjelasan yang cukup. Ada nilai positif dan negatifnya. Nilai positifnya, pembaca mencari lebih jauh peranyataan TGB melalui berbagai bacaan. Sisi negatifnya, pembaca bisa multi tafsir atau bahkan gagal paham.
MIsalnya saat TGB mengatakan, jangan gunakan ayat-ayat perang dalam situasi damai. Dia tidak memerinci lebih jauh apa yang dimaksud ayat perang. Karena sekarang kita dalam situasi damai, maka bisa diartikan, ayat-ayat perang jangan lagi digunakan untuk kepentingan politik atau kepentingan lain.
Tentu saja ucapan TGB itu disambut positif oleh berbagai pihak, termasuk pendukung Jokowi. Ketika Jokowi di depan relawannya menegaskan agar relawan jangan takut jika ada ngajak berantem, oposisi menafsirkannya sebagai ajaran relawan untuk berkelahi. Para pendukung Jokowi tentu saja membantah. Untuk memperkuat argumen mereka, maka pendukung Jokowi mengutip penggalan ayat 194 surah Albaqarah, "oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. " Padahal kalau kita baca surah Albaqarah dari ayat 190 sampai 194 adalah termasuk ayat-ayat perang.
Pada kesempatan lain, setelah menjadi makmum sholat maghrib, imamnya adalah Jokowi, ketika ditanya soal bacaan sholat Jokowi, TGB hanya bilang, bacaannya cukup terang. Tentu saja pembaca yang membaca pernyataan itu bertanya, apa maksud cukup terang? TGB tidak menjawab lebih jauh. Kriteria cukup terang memang tidak dikenal dalam penilain bacaan Alqur'an. Barangkali itu cara TGB agar tidak menyinggung perasaan siapa pun. Tapi cukup bikin bingung yang membaca pernyataan itu.
Kalau saja TGB mau berbagi ilmu, maka ke depan, pernyataannya menyangkut soal agama bisa lebih diperjelas, lebih rinci hingga pembaca tidak multi tafsir atau bahkan gagal paham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H