Lihat ke Halaman Asli

Balya Nur

Yang penting masih bisa nulis

Elektabilitas Binatang di Pusaran Politik

Diperbarui: 24 Januari 2018   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar editan pribadi

Ini nggak ada hubungannya dengan zoon politiconnya Aristoteles. Ini  binatang beneran yang mendadak tenar setelah pilpres 2014. Elektabiltas  yang dimaksud adalah keterpilihan nama binatang yang kerap disebut oleh  warganet dalam konotasi negatif tentu saja. Baik dalam skala nyinyir  kelas wahid maupun kelas buncit.

 Keterbelahan masyarakat setelah  pilpres 2014 ditandai dengan sebutan Jokower di satu pihak dan Prabower  di pihak lain. Nama binatang mulai masuk setelah Pak Jokowi memamerkan  kegemarannya memelihara Kodok. 

Mendadak Kodok menjadi populer. Medsos  yang memang sifat dasarnya adalah nyinyir menemukan istilah baru bagi  Jokower. Anak Kodok, kecebong ikut terangkat namanya. Kecebong  disematkan bagi Jokower. Elektabilitas Kecebong meroket. Berdasarkan  survey BRTS ( Bang Rojak Tukang Surpe ) prosentase Kecebong 70 persen,  Kodok 30 persen.

 Tentu saja Jokowers tidak tinggal diam. Waktu  itu parpol masih terbagi dalam  dua koalisi besar. Koalisi Merah Putih  di kubu  Pak Prabowo, dan Koalisi Indonesia Hebat di kubu Pak Jokowi.  

Nah, Koalisi Merah Putih oleh Jokowers dipelesetkan singkatannya menjadi  Kampret. Mulailah nama Kampret merangkak naik menyalip elektablitas  Kodok, tapi tetap belum bisa menyalip Kecebong. Hasil Survey BRTS,  urutan pertama dengan perolehan 50 persen dipegang oleh Kecebong.  Kampret urutan kedua, 35 persen. Kodok terpuruk di angka 15 persen.

 Tentu saja Jokowers tidak puas. Mereka kembali menggali cerita masa  pilpres berlangsung. Waktu itu Pak Prabowo dikenal gemar memelihara kuda  kualitas kelas wahid. Dalam satu kampanye akbar, Pak Prabowo nampak  gagah menunggang kuda. 

Jokowers berusaha memasukan Kuda dalam kontestasi  Pilnyium ( pemilihan nyinyiran umum )  tapi sayangnya gagal. Kuda kalah  bersaing dengan Kecebong, Kampret dan Kodok. 

 Setelah dua  koalisi besar bubar. Parpol-parpol KMP antri di depan istana minta jatah  menteri dibalut dengan kata-kata manis, dukungan tanpa  syarat,menyisakan Gerindra dan PKS, Kampret kehilangan legitimasinya.  Elektabiltasnya langsung melorot di angka 5 persen.

 Kegaduhan  politik terus berlanjut di arena Pilkada DKI. Karena Jokower otomatis  Ahoker, maka muncul binatang Onta. Bermula dari aksi dua satu dua yang  bikin geger seantero republik ini, bahkan sampai ke negeri seberang.  Peserta aksi dua satu dua dianggap kearab-araban, maka itu dinyinyirin  sebagai Onta. Elektabiltas Onta mulai melesat menenggelamkan Kampret  bahkan Kodok. Hasil survey BRTS, Kecebong 50 persen, Onta 45 persen,  Kodok 5 persen. 

 Di tengah kegaduhan Pilkada DKI muncul isu  keberpihakan polisi pada petahana. Mulailah muncul binatang Wereng  Coklat.  Kehadiran Wereng menenggelamkan popularitas Kodok. Hasil survey  membuktikan, Kecebong 45 persen, Onta 40 persen, Wereng 15 persen.

 Ada satu lagi binatang yang mendadak populer, Kambing. Bermula  dari  Pak Jokowi ngevlog kelahiran Kambing kesayangannya. Tapi popularitas  Kambing tidak bertahan lama, itupun tidak sampai di angka 10 persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline