Sewaktu Ahok masih galak-galaknya dia sesumbar tidak butuh Parpol.Pendukungnya nggak kalah galaknya, menganggap parpol seperti virus penyakit yang harus dihindari.
Parpol seperti semut, popularitas seorang tokoh seperti gula. Ketika rombongan besan parpol datang melamarnya, numpang ngetop dengan popularitas Ahok, akhirnya Ahok nyerah juga. Sejuta KTP belum jelas ujung pangkalnya, hadiah cuma-cuma barisan parpol kenapa harus disia-siakan?
Itu dulu. Sekarang parpol gantian galak. Pilkada DKI membuktikan, elektabilitas tokoh nggak menjadi jaminan kemenangan. Mesin parpol lah yang memainkan peran lebih buat kemenangan. Mesin Parpol punya perangkat mendeteksi arah angin, isu yang sedang berhembus, hingga mesin bilang, aku tahu apa yang kalian mau.
Pada saat banyak orang ngetop mulai kapok maju sebagai calon independen dengan modal elektabilitas yang dijajakan oleh sejumlah mesin survey, Ridwan Kamil masih terlena dengan elektabilitas yang betah diatas, malas turun.
Lamaran parpol dengan kursi paspasan yang mau numpang ngetop dengan elektabilitas RK diterimanya seolah mendapat rejeki nomplok. Dia meningalkan begitu saja PDIP yang telah jauh-jauh hari menjanjikan akan mengusungnya sampai ke kursi Jabar satu , atau Parpol yang selama ini menjadi teman baiknya seperti Gerindra dan PKS.
RK juga tidak menyadari, parpol yang punya kursi lumayan sekarang lagi galak-galaknya. Dukungan Golkar, PKB, dan PPP yang dulu sewaktu mendukung Ahok mengaku mendukung tanpa syarat, sekarang membawa persyaratan yang bikin kepala pusing tujuh setengah keliling
Golkar, PPP, PKB punya syarat yang sama,you nggak pake ai punya kader buat you punya wakil, gudbay mailop.Tertutup lah jalan buat musyawarah. Terbukalah jalan buat marah. Golkar marahnya kelewat cepat sampai bikin RK nggak sempat bernafas, Golkar sudah hilang dari genggaman.
PPP dan PKB pun kompak mengancam RK,ente nggak mau kader ane jadi wakil ente, wassalam.Bisa dibayangkan seperti apa suasana batin RK. Kalau toh misalnya ketiga parpol itu bermusyawarah mufakat memilih salah satu wakil dari PKB atau PPP, suasananya sudah nggak kondusif lagi. Apa sih enaknya menjadi Cagub dibawah ancaman parpol? Bisa dibayangkan, kaya apa nanti pas kampanye. Ribetnya minta ampun. Bukan ngurusin kampanye malah berantem di dalam.
Nggak tahulah apa yang sekarang sedang dipikirkan RK. Elektabilitas tertinggi hampir nggak ada gunanya. Apakah dia akan masuk ke partai politik, atau berniat kembali menjadi arsitek. Hidup lebih nyaman, tenteram. Kalau mau hidup ribet, ya masuk parpol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H