Lihat ke Halaman Asli

Balya Nur

Yang penting masih bisa nulis

Jin Berpikir, Maka Saya Berpikir

Diperbarui: 20 September 2016   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu sewaktu masih muda, suatu saat saya menyutradarai lenong Betawi yang pemainnya anak-anak muda. Walaupun secara garis besar masih menggunakan pakem lenong, tapi ada beberapa modifikasi. Untuk urusan musik pengiring, saya menyewa group musik lenong dari pinggiran Jakarta. Saya ingin  group musik itu juga ikut latihan barang satu ada dua kali, tapi resikonya mau latihan kek, mau pentas kek, bayarannya sama. Maka diambil jalan tengah, saat sesi latihan cukup diwakili oleh pemain musik gesek tehyan atau kong ahyan, dan kendang

Saya minta beberapa contoh lagu, barangkali ada yang cocok buat beberapa adegan. Ketemu satu lagu. Saya tanya, “ apa judulnya? “ Jin Berpikir,” jawabnya. Saya kira dia becanda, tapi memang betul lagu itu judulnya “Jin Berpikir. “ Ada satu lagu lagi judulnya “ Jin Murka. “

Memang dasar anak muda kurang piknik budaya, lagu instrumental itu sebenarnya sudah cukup populer di kalangan seni musik Betawi. Judul lengkap lagu itu, “ Mars Jin Berpikir,” Mars Jin Murka,” biasa juga dimainkan oleh group tanjidor.

 Walhasil bukan hanya jin yang berpikir, saya juga ikutan berpikir, siapa penciptanya? Bagaimana dia bisa punya ide memberi judul  rada aneh kaya gitu? Kira-kira apa yang dipikirkan jin? Siapa yang nyuruh mikir? Waktu itu kan Cak Lontong belum jadi apa-apa, mungkin juga belum lahir.

Sekarang gantian saya  berpikir, memikirkan jin yang berpikir. Apakah Jin sedang mengamalkan  falsafah Cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada “  yang diusung filsuf Prancis, Descartes? Berarti Jin itu sedang mencari kebenaran dengan meragukan semua hal, meragukan apa saja  yang ada di sekelilingnya, termasuk dirinya

Kalau itu soalnya, biarlah Jin kesurupan Descartes. Lagipula saya kurang sreg dengan aliran rasionalisme wabilkhusus yang dikaitkan dengan agama. Saya mau ambil premis Descartes secara kampungan saja. Saya mau meragukan satu hal, dan meyakinkan hal lainnya

Saya meragukan pendapat yang bilang, gubernur DKI  sekarang sebagai reinkarnasi Ali Sadikin. Saya yakin itu tidak tepat. Kalau soal marah, ibu rumah tangga yang telat menerima uang gajian juga marah. Kalau soal galak, preman juga galak. Selfi sebagai tanda dicintai rakyat, Caesar dengan hanya modal goyang oplosan juga dulu banyak yang minta selfi, Arya dengan hanya modal marahin Eyang Subur juga banyak yang minta selfi

Saya ingat dulu ketika sekolah saya diliburkan, para guru dapat undangan tatap muka dengan gubernur Ali Sadikin di sebuah bioskop di pasar kebayoran lama. Ibu saya bukan guru tapi juga dapat undangan. Saya masih ingat kegembiraan yang luar biasa terpancar dari wajah ibu saya seolah tak sabar ingin bertemu dengan gubernur DKI yang walaupun terkenal galak tapi sangat dicintai rakyat. Anak-anak sekolah tentu saja tak dapat undangan, tapi tidak menyurutkan saya dan teman-teman untuk melihat langsung wajah sang Gubernur. Terpaksa saya dan kawan-kawan melompat pagar bioskop

Saya juga berpikir, gubernur DKI yang sekarang ini hanya sibuk bicara soal pembangunan fisik. Bang Ali dulu juga membangun fisik dengan proyek MHT-nya, tapi dia tidak melupakan membangun budaya, kesenian. Jasa Bang Ali sangat besar mengangkat  kesenian teater betawi, lenong dan topeng betawi ditempatkan di tempat terhormat, Taman Ismail Marzuki. Tempat yang selama itu dianggap sebagai tempat berkumpulnya strata tertinggi para seniman, yakni para dewa kesenian yang sulit dijangkau oleh seniman pinggiran seperti lenong dan topeng betawi

Melalui pembinaan yang terkonsep dengan baik, akhirnya lenong betawi menjadi demam baru warga Jakarta, menembus kalangan papan atas, menggugah para anak muda pelaku kesenian, termasuk saya untuk berlenong ria, hal yang sebelumnya seperti mustahil

Apa yang dibuat gubernur sekarang? Mengurangi anggaran dinas pariwisata dan kebudayaan. Memang     sih ada kesalahan manajemen anak buahnya yang ngurusin kebudayaan, tapi kan mestinya anak buahnya yang dijewer, bukan mengorbankan anggaran untuk membangun kebudayaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline