Saya gemar menonton air mata. Jika ada tetangga menangis, kuping saya arahkan ke sumber suara dengan konsentrasi penuh. Daripada nonton sinetron di televisi, mending lihat tayangan langsung . Di kepala saya tersusun scenario yang lebih mengaharukan daripada Cinta Fitri. Tapi saya kecele. Ternyata tetangga saya sedang latihan drama menjelang agustusan.
Kegemaran menonton air mata menjadikan kapitalisasi air mata. Air mata yang tumpah pada Cinta Fitri dan sejumlah sinetron lain telah meraup keuntungan yang sangat besar. Apakah cuma sinetron yang menjual air mata? O, ternyata tidak.
Pada acara Mata Najwa, Bu Mega menangis, Air mata Bu Mega oleh para pengamat air mata ditafsirkan sebagai keperdulian terhadap bangsa. Airmata itu banyak dipuji kalau saja tidak tersandung pada soal pencapresan Jokowi. Tapi apa pun kerikil yang menyebabkan tersandung itu, air mata Mega ditafsirkan sebagai keperduliankepada bangsa.
Acara Mata Najwa kembali menampilkan sesi air mata. Kali ini air mata Bu Risma, Walikota Surabaya ,yang jatuh di hadapan Mata Najwa. Para pengamat air mata kembali sibuk membuat tafsiran. Ada yang mengaitkan dengan konflik Bu Risma dengan PDIP partai pengusungnya. Para pendukung Bu Risma di media sosial menyindir, bahkan mencaci PDIP. Bicara PDIP tentu mau tak mau bicara BuMega.
Kalau air mata Bu Mega sebagai keperdulian kepada bangsa, kalau air mata Bu Risma sebagai perlawan terhadap Mega,maka kita tunggu saja air mata berikutnya. Diplomasi air mata trend baru di panggung politik yang selalu ditunggu oleh para pengamat air mata.
13 Pebruari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H