Lihat ke Halaman Asli

Kalbu Cinta bagian 2 (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

2

Disinilah dimulai sebuah cerita cinta seorang ‘Nabila’ dan mulai terukir indah sebuah nama yang lebih indah ketimbang ‘Muhammad Zubair’ dan.. Disinilah sosok kuat dari jiwanya mulai tumbuh bahkan berakar sangat kuat. Sebuah sakit yang membuatnya menjadi sesosok wanita yang kuat, tegak, tegap dan tegar.

.....

“Setelah kejadian yang menimpa Nabila 3 minggu yang lalu, Nabila menjadi sangat diam bahkan sering dia marah-marah sendiri. “Apa Nabila gila bu?” aku yang mendengar percakapan Hanni dengan ibu membuat hatiku seakan tergoncang dahsyat, sungguh tak ada yang mau berada di posisiku, namun.. apa iya aku gila? Apa Muhammad Zubair yang membuat ah, buku gila??

Tidak ! Tidak ! Tidak ! Aku tidaklah gila !  Aku akan menunjukan padamu Han, bahwa aku tidak gila, dan untuk ibu, ibu tak perlu bangun  pagi –pagi sekali membereskan rumah, memasak lalu merawatku ,dan kamu yah Ayah, tak perlu merawat kebun supaya Nabila tetap bahagia. Tak perlu ! kini luar Nabila memang seperti orang gila, tetapi hati  Nabila yah ! bu ! hati Nabila  masih seperti Nabila yang dulu.

Walau memang Nabila kini tak dapat memegang gagang sendok untuk makan sendiri, walau memang Nabila kini tak dapat memegang spatula untuk menggoreng ikan kesukaan ayah, walau memang Nabila tidak dapat memegang pena, lalu menulis karangan-karangan untuk Hanni, dan walau memang Nabila kini tak dapat menengadahkan kedua tangan untuk berdoa pada Allah

Tapi ayah dan ibu kini perlu tahu, Nabila hanya perlu waktu, Nabila membutuhkan waktu untuk menghilangkan Muhammad Zubair dari hati Nabila, kalaupun Nabila tidak dapat menghilangkan nama Muhammad Zubair di hati Nabila, berarti Nabila butuh waktu agar sebagian jiwa Nabila menerima Muhammad Zubair.

“Nabila kak Zubair kesini, dia mau menjengukmu, biar aku berkemas diluar ya, ibu akan membuatmu cantik hari ini mendengar kata-kata Hanni yang katanya kak Zubair mau ‘menjengukku’ itu, membuat mataku nanar, aku berfikir sejenak, Iyakah aku sedang sakut ?

Ketidak berdayaanku yang seolah-olah membuatku menjadi wanita gila, jika iya kini aku tak dapat berkata-kata namun hatiku terus berkata.

Ibu masuk kedalam kamar dengan wajah yang berseri, dibukanya lemari pakaianku diambil baju berwarna ungu dengan renda-renda dilengannya, motif bunga memperlihatkan kecantikan baju itu.

“Pakai baju ini ya nak, sini biar ibu pilihkan kerudung yang cocok” gumam ibu tersenyum manis.

Tak ada anggukan ataupun jawaban setuju atau menolak, aku ya.. tetap terpaku diam, seketika jiwaku bahagia, namun lama kelamaan sesak yang mendalam menandakan ketidak terimaan jiwaku terhadap Muhammad Zubair

Tanpa aku sadari, ku menatap sepasang merpati yang sedang bercumbu dengan mesranya, beruntungnya mereka diberikan karunia-NYA untuk saling mencintai tanpa ada yang menghalangi.

Ibu yang sedari tadi sibuk mendandaniku, kini Ia tersenyum lega, apalagi saat Ia sadar bahwa anaknya sudah berpakaian rapi sekali, wajahku yang remaja ini hanya di balut bedak tipis, dengan lipstick yang hanya membuat bibir terlihat basah tanpa warna. Ibu mencium keningku dan berkata, “kuatkan hatimu nak.. kamu harus cepat sembuh”  mendengarnya tak terasa mataku mengalirkan air yang membasahi pipi, beberapa saat ku tak sadar bahwa keadaanku sudah mulai membaik.

Air mata bahagia mengalir dengan irama, ku cobakan kakiku berjalan menghampiri ayah dan ibu yang sedang bercakap-cakap di ruang tamu. Langkahku yang tertatih-tatih seperti anak balita yang mulai berkembang. Aku berteriak dengan kata yang terbata-bata “bu.. I.. bu..b.. A.. Ay.. ah, Nabilaah.. Sembuu”. Hanni yang melihat kali pertama bicaraku setelah lama diam membisu langsung berlari, memelukku sambil menangis “Subhanallah, Alhamdulillah ya Allah” kata hanni terus menangis.

“Han..” Belum selesai ku ucapkan satu kata, Hanni langsung menyambarnya. “Iya Nab, Hanni tahu, ayo kita ke depan, ayah dan ibu akan sangat bahagia dengan ini ” sepertinya tanpa aku berbicara Hanni sudah mengerti apa yang aku inginkan.

Dipapahnya aku oleh Hanni “Ibu, Ayah lihatlah anakmu ini ” teriak Hanni. Sesampai di tujuan, tertuju mataku pada Ayah dan Ibu, dua orang yang sangatlah penting bagiku.  “Anakku” gumam Ayah lirih, dengan mata yang berkaca-kaca Ayah bangkit dari duduknya dan di susul oleh ibu. Mereka berlari menghampiriku dan memelukku dengan sangat erat. “Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terima kasih kau telah jabahkan doa hambamu ini ” kata Ayah sedang memelukku.

Sebuah keluarga sederhana, namun diisi dengan kemewahan hati disetiap warganya dengan seorang pemimpin yang bijaksana. Inilah keluargaku, ya keluarga Nabila yang hanya Nabila miliki. Kataku dalam hati penuh syukur.

Keadaan berubah jadi haru bahagia, dari sorot mata mereka aku mendapat sebuah tatapan yang seolah hatilah yang dapat menjabarkannya. Hari ini saat ku tatap keluar rumah bunga-bunga tulip yang sengaja kutanam di halaman bermekaran dengan cantiknya seakan ikut senang dengan kepulihanku. Hanya sebuah kata terima kasih yang aku curahkan kepada Tuhanku, yakni Allah SWT.

“Inilah anak Ayah, Nabila.. anak yang selalu mau bangkit, Nabila yang memiliki semangat lebih, Nabila yang tabah” Kata Ayah membuat semangat baru dalam kehidupanku.

Canda dan tawa mengisi kekosongan yang selama ini melanda, walau memang bicaraku yang masih terbata-bata, mereka semua tetap bisa memahaminya. Terima kasih yah, bu, Han..

Jam menunjukan pukul 13.00. Kita semua telah rampung melakukan shalat Dhuhur bersama-sama, dirasanya olehku rasa yang aneh betul. Tiba-tiba terdengar kerukan suara pintu sembari salam yang menyapa rumah.

“Assalamu’alaikum” suara lelaki, itu yang aku tahu aku mencoba bangkit dan membuka pintu. Sempat dilarang oleh ibu memang, mengingat urusan berjalanku yang masih tertatih. Aku hanya melempar sebuah isyarat pada ibu aku saja yang membukanya.

Ibu menganggukkan iya, ku berjalan dengan lambat sekali, hingga tiba dibelakang pintu, suara pintupun bederit tanda dibukanya pintu rumah. Laki-laki itu membalikan badan, membelakangi pintu saat itu. Aku bertanya “car.. carrri.. si..a..apa” tanyaku seperti wanita cacat.

Laki-laki itu membalikan badan dia menatapku. Tes, air mata mulai berlinang. Seorang lelaki yang tak pernah aku harapkan kedatangannya, kini tepat berdiri di hadapanku.

Lagi-lagi harus Muhammad Zubair, namun.. bukankah Hanni sudah bilang akan kedatangannya ? Kuingat kata ibu agar selalu menguatkan dan mentabahkan hati.

“Kak Zu.. Zu.. Zuubairrr” mencoba memanggil namanya, sambil tersenyum lembut. Aku dapat menangkap sesuatu dari air muka kak Zubair, tapi ku tak habis fikir. Aku merasa sangat biasa kini dengannya, apa lagi saat memanggilnya. Iyakah benar aku telah dapat menghilankan Muhammad Zubair dari hati ini ? Sebuah jiwa yang mengkubur nama Muhammad Zubair, tapi apa perlu aku memikirkan ini semua ? Macamnya tidak

Tanganku berisyarat agar kak Zubair masuk rumah, dengan anggukan kecil sembari melempar senyuman lebar mengiyakan tawaran.

Ku paham dengan air mukanya saat ini. Terlebih tatapannya, mungkin ia terheran-heran dengan keadaanku sekarang. Apalagi dengan gaya bicaraku. Tetapi mau bagaimana lagi, waktulah yang akan mengembalikan aku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline