Lihat ke Halaman Asli

Balqis Putri

Kontributor

Kecanduan Internet Remaja di Jakarta: Studi Wawancara

Diperbarui: 16 Februari 2023   11:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Remaja secara bertahap menjadi populasi utama pengguna Internet. Namun, hanya ada sedikit penelitian tentang kecanduan internet remaja; sebagian besar penelitian yang relevan telah mengeksplorasi kecanduan internet mahasiswa atau orang dewasa. Data wawancara yang dikumpulkan dalam mini riset ini menegaskan kembali adanya gejala dan masalah yang disebutkan di atas. Misalnya, remaja yang kecanduan internet menunjukkan penggunaan internet secara kompulsif, meskipun sebenarnya mereka tidak melakukan apa-apa selain "berkeliaran" di internet. Mereka menunjukkan dorongan yang tak terkendali untuk meningkatkan jumlah waktu yang dihabiskan untuk online dan mengalami kesulitan untuk mengurangi penggunaan Internet yang berlebihan. Salah satu subjek menyatakan bahwa "Bagi saya, Internet bukanlah alat, sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas sehari-hari."

Seorang siswa menyatakan bahwa dia pernah menggunakan smarphonenya untuk online saat naik kereta api, karena dia menggunakan Internet secara kompulsif.

Hampir semua remaja yang diwawancarai pernah mencoba menarik diri dari Internet tetapi kemudian merasa tertekan, dan penarikan itu biasanya tidak berhasil. Mereka menemukan bahwa, untuk memenuhi kepuasan awal mereka, waktu online mereka meningkat pesat. Akibatnya, mereka sering menyembunyikan lamanya waktu online mereka dari orang tua mereka. Selain itu, kecanduan internet menyebabkan beberapa masalah sekolah, keluarga, kesehatan, dan keuangan. Artinya, penggunaan internet yang berlebihan dapat merusak fungsi sosial atau pribadi, seperti kehilangan waktu tidur dan belajar, dan meningkatkan biaya online (wifi atau paket data). Satu subjek mengklaim bahwa dia harus membayar lebih dari 200 ribu rupiah untuk pengeluaran online.

Orangtua mereka mencoba membatasi waktu online anak-anaknya ataubahkan mengurangi penggunaan jaringan internet di rumah. Semua remaja yang diwawancarai mengungkapkan gejala parah bahwa penggunaan Internet telah menyebabkan masalah dalam manajemen waktu, dan bahwa mereka percaya bahwa masalah ini mempengaruhi kinerja akademik mereka di sekolah. Orang bisa membayangkan bagaimana kegiatan online mmpengaruhi kesehatannya, kinerja sekolah, dan kehidupan pribadi. 

Namun, berdasarkan data wawancara remaja tersebut, kecanduan internet tampaknya tidak menimbulkan masalah serius pada interaksi teman sebayanya (aktual, bukan virtual) di sekolah. Menarik juga untuk menemukan bahwa semua remaja ini melaporkan sendiri bahwa orang tua mereka bersikap negatif terhadap kecanduan internet mereka, tetapi rekan-rekan mereka memiliki sikap positif atau setidaknya netral terhadap kecanduan internet mereka. Penggunaan internet atau online masih menjadi aktivitas yang menarik bagi remaja. Satu subjek bahkan mengklaim bahwa teman-temannya mengaguminya karena melanggar aturan keluarga dan mengabaikan disiplin sekolah. Kekaguman ini mungkin telah meningkatkan rasa percaya dirinya yang sempat rusak ketika gagal mencapai harapan guru dan orang tua.

Selain itu, hampir semua remaja yang diwawancarai (4 dari 5) menyatakan bahwa pesan-pesan di Internet menjadi sumber informasi dan pengetahuan yang dominan. Diakui bahwa dunia internet memberikan informasi yang kaya bagi penggunanya, namun tidak semua informasi tersebut benar atau sesuai untuk remaja. 

Pendidik serta orang tua harus memperhatikan hal ini dan menasehati remaja untuk menyikapi dengan baik informasi yang disampaikan di internet. Empat dari remaja yang diwawancarai mengatakan bahwa, jika mereka murung atau merasa tertekan, mereka menggunakan Internet untuk menyembuhkan depresi mereka. Mereka mencoba berbicara dengan seseorang secara online, bermain game online, atau melakukan "sesuatu yang gila" di Internet (misalnya, membunuh orang dalam game, memposting pesan yang menipu). Dunia internet seakan menjadi tempat untuk meredakan depresi remaja. Banyak dari remaja ini mengklaim bahwa Internet memperluas kehidupan sosial mereka dengan memperkenalkan mereka kepada lebih banyak orang (di Internet). Akhirnya, empat remaja mengakui diri mereka sebagai pecandu internet, tetapi tidak satupun dari mereka dapat dengan jelas menyatakan apa yang harus dilakukan dengan kecanduan tersebut. Psikolog dan pendidik harus lebih memperhatikan hal ini dan mengusulkan solusi yang mungkin untuk remaja.

Saat ini, kecanduan internet menjadi isu penting bagi para psikolog dan pendidik. Remaja yang sering menjadi pengguna internet namun belum memiliki kematangan mental yang tinggi dipandang sebagai kelompok calon pecandu internet. Studi ini menggambarkan upaya awal untuk mengeksplorasi kecanduan internet remaja melalui wawancara.  Dunia internet menjadi sumber informasi utama dan tempat kelegaan bagi para remaja ini. Ketika remaja menjadi populasi utama pengguna internet, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi penyebab dan solusi kecanduan internet remaja.

Ada beberapa rekomendasi untuk penelitian masa depan yang berasal dari penelitian ini. Pertama, peneliti dapat mewawancarai kelompok remaja yang jauh lebih besar untuk mendapatkan lebih banyak informasi dan wawasan penelitian tentang kecanduan internet remaja. Selain itu, peneliti dapat mewawancarai orang tua pecandu internet dan rekan mereka untuk mengeksplorasi bagaimana kecanduan internet dapat memengaruhi kehidupan pecandu dalam berbagai aspek. Selain wawancara, peneliti dapat melakukan observasi mendalam dan mengumpulkan lebih banyak aktivitas online terkait pecandu internet. Karena sampel dalam penelitian ini hanya melibatkan sekelompok remaja Jakarta yang menunjukkan kecanduan internet, peneliti dapat mewawancarai kelompok remaja serupa di negara lain. Beberapa perbedaan budaya dalam kecanduan internet mungkin terungkap dalam penelitian lintas budaya tersebut.

Banyak subjek dalam penelitian ini diwawancarai secara online. Berdasarkan pengalaman penulis, para remaja ini merasa mudah untuk mengekspresikan pikiran mereka secara bebas di lingkungan internet. Wawancara online dapat dilakukan tanpa batasan waktu dan tempat, serta dapat dengan mudah merekam tanggapan setiap narasumber dalam format digital. Diharapkan temuan penelitian ini akan merangsang lebih banyak penelitian dan eksplorasi mendalam tentang kecanduan internet remaja.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline