Lihat ke Halaman Asli

Ayah, Maafkan Aku!

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buku-buku agama itu tersimpan dan tertata rapi di kamar kosong paling pojok ruang tengah. Terlihat usang karena sudah terlalu lama dan tak terawat. Tiap kali ibuku masuk ke kamar itu, selalu keluar dalam keadaan menangis. Mungkin ibu teringat mendiang ayahku. Dia adalah lelaki yang sangat dihormati di masa mudanya. Di sayang para leluhurnya. Dan dicintai keluarganya. Sangat pandai dan santun. Tapi sayang, hidupnya tidak terlalu lama. Hanya 30 tahun.

Terkadang, terpikir olehku, kenapa aku tidak sedikitpun meniru sifat dan kecerdasan ayahku. Kenapa aku justru terlahir dalam keadaan istemewaku, down syndrome. Bicara pun aku hampir tak sanggup. Aku cuma mengamati apa yang ada disekitarku, tapi sangat sulit untuk mengungkapkannya. Hingga di usiaku yang ke-20 ini hanya ibuku lah yang menemaniku sehari-hari. Entah kenapa mereka tidak mau berteman denganku. Padahal secara fisik aku tetaplah sempurna.

###

Untungnya ibuku adalah orang yangpandai seperti ayahku. Dia mengajariku baca tulis. Bertahun-tahun dilakukannya dengan penuh kesabaran. Barudi usiaku yang ke-17 aku sanggup mengeja tulisan.Beliau tak punya cukup uang untuk menyekolahkanku di SLB.

“ Aku ini anak laki-laki” pikirku. Seharusnya akulah yang melindungi ibuku di usia senjanya. Bukan malah aku yang selalu membebani ibu. Aku masih ingat ketika terakhir kali ayahku menggendongku. Dia membisikkan kata-kata “ Nak, kamu ini jagoan keluarga. Nanti kalau bapak tinggal tolong jaga ibu ya, Nak! Kamu satu-satunya harapan keluarga”. Aku tersenyum kecut mendengarkannya. Ayah, bisakah aku memenuhi keinginanmu. Sekali lagi, aku istemewa, down syndrome .

###

Hari itu, hari Jum’at yang sangat cerah. Kebetulan keluargaku mendapat rejeki lebih. Ibuku nan cantik dan baik hati membawaku pergi ke pasar. Dengan sepeda tua ayahku, ibuku memboncengku yang sudah amat panjang kaki ini. Tapi ibuku tetap semangat. Ingin membuatku tersenyum. Padahalselama ini aku pun jarang melihatnya tersenyum. Betapa tabahnya dia. Begitu setianya dia dengan ayahku. Meskipun banyak laki-laki muda yang gagah, kaya dan setidaknya bisa membantu perekonomian ibuku. Karena mereka tak mau menerimaku, ibuku tak sudi menerimanya.

Oh ibu, kenapa ayah tidak mewariskan kecerdasannya padaku. Aku ingin sekali melindungimu. Namun apa daya aku terlampau lemah untuk itu. Ayah, kenapa kau wasiatkan ini padaku untuk mungelindunginya. Padahal kau tahu aku terlalu istimewa dengan down syndrome ku ini. Ayah, Ibu aku ingin berbakti pada kalian, tapi keistimewaanku membatasi.

Lama sudah aku melamun di atas sepeda tua ini. Ibukumasih dengan gigihnya mengayuh sepeda, melewati jalan terjal dan licin ini. Tak kusangka, tikungan yang licin itu kini telah terputus karena hujan semalaman. Dan tiba-tiba sepeda yang sudah halus rodanya itu melaju cepat membuat kami berdua terperosok. Aku terpental ke kali. Sedang ibuku terjatuh dari sepeda itu dan kepalanya terbentur batu-batu jalan.

Begitu kepala ibuku mengucurkan banyak darah. Tak ada warga yang tahu. Karena hari itu masih terlalu pagi. Aku membersihkan diriku dari lumpur-lumpur kali. Lalu mendapati ibuku dalam keadaan tak sadar. Aku cuma bisa menangis. Tak tahu harus berbuat bagaimana. Andai aku normal, sudah kubawa Ibuku ke puskesmas untuk diselamatkan. Tapi aku hanya membisu. Menjeritpun aku tak bisa. Susah sekali mengungkapkan perasaan sedihku pada orang-orang.

Beberapa menit kemudian, tubuh ibuku terasa dingin sekali. Sangat dingin dan kaku. Dia sama sekali tak bergerak. Nafasnya pun hampir tak ada. Denyut nadinya sudah tidak terasa. Ohtidak!!!. Ibuku telah tiada. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Demi aku, ibuku telah kehilangan nyawanya. Padahal pesan Ayahku, aku harus melindunginya.

###

Aku membenci diriku sendiri. Sehari setelah ibuku dimakamkan. Aku memasuki kamar Ayahku. Membuka lembaran-lembaran tulisannya. Membaca buku harian ibuku. Sedih mengingatnya. Tak sengaja mataku menangkap sebilah pisau. Tanpa pikir panjang kuambil pisau itu. Dan kugoreskan sedikit-sedikit ke nadiku yang tipis itu. “ Ayah, maafkan aku. Aku tak bisa mengabulkan permintaan terakhirmu.Ibu telah menderita karenaku…!”. Aku tergeletak di ruangan itu tanpa ada satu orang pun tahu,apalagi tetanggaku. Dan tiba-tiba semuanya menjadi begitu gelap, gelap dan aaahhh, gelap. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline