Lihat ke Halaman Asli

Lorong-lorong Kesesatan

Diperbarui: 5 Februari 2018   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Kicauan burung yang merdu menentramkan hati. Langit yang cerah akan tetapi matahari masih  enggan muncul. Orang-orang baru saja turun dari masjid selesai melakukan ibadah sholat subuh. Beda dengan lelaki tua ini dengan sibuknya bersiap-siap untuk pergi bekerja padahal masih pagi sekali. 

Sekalipun sudah renta umurnya dia tetap bersemangat mencari nafkah untuk keluarganya. Seorang tukang kebun di Sekolah Menengah Atas. Dengan kesehariannya berangkat petang sebelum para siswa datang. Masih pagi sudah bercucuran keringat dan tampak lesuh. Wajahnya yang menggambarkan kondisi fisiknya yang lelah. Dan suara nafasnya yang terisak-isak tak membuatnya bermalasan-malasan untuk bekerja. Sikap nakal siswa yang senang membuang sampah sembarangan tak membuat dia mengeluh unntuk membersihkannya.

Kondisi sekolah sudah ramai karena beberapa siswa sudah mulai berdatangan ke sekolah. Sesekali dia menatap siswa yang barus saja datang dengan berseragam rapi. Tatapan itu menandakan dia lagi memikirkan anaknya yang sedang berkuliah di kota orang. Rasa rindu ingin berjumpa dan memeluk anaknya yang jauh dari penglihatannya. Tidak ada orang tua yang bisa tenang jika anaknya jauh dari orangtuanya. Hirup pikuk kehidupan kota yang serba modern dan pemikiran manusianya yang mengikuti zaman. Tingkah laku kaum remajanya yang berada diluar batas kewajaran. 

Remaja nongkrong sampai dini hari adalah hal yang lumrah. Tak ada sekat  diantara laki-laki dan wanita. Tidak kaget bila wanita dimulutnya penuh dengan asap rokok layaknya laki-laki. Kehidupan yang jauh dari pantauan orang tua membuat mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Anak yang tujuannya dari kampung adalah untuk mencari ilmu bisa berubah seiring kondisi lingkungan barunya. Bersantai dan terbahak-bahak menghabiskan uang kiriman dari orang tuanya. Tanpa berfikir orang tuanya telah banting tulang mencari biaya untuk kuliah.

"Arin bangun sudah siang, bukannya sekarang kamu ada kuliah?" Saras membangunkan Arin yang masih tergeletak di kasur tanpa respon. Arin memang susah untuk dibanguni karena tidurnya selalu jam tiga pagi. Akhir-akhir ini Arin sering tidak kuliah dan telat untuk berangkat kuliah. 

Pergaulan Arin yang sudah berada dibatas kewajaran. Dia lalai terhadap tanggung jawabnya dan tujuan dia pergi ke kota. Semasa tinggal di pondok pesantren Arin disiplin dengan waktu dan rajin. Namun saat ini dia berubah tiga ratus enam puluh derajat. Enam tahun hidup di pondok pesantren yang jauh dari pergaulan anak remaja. Arin seperti burung yang baru saja keluar dari sangkarnya. Yang baru saja terlahir menikmati kenikmatan dunia dan masa remajanya. Memasukkan anaknya di pondok pesantren adalah kebiasaan masyarakat pedesaan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun.

"Saras aku mau curhat, apa kamu sibuk?" Arin mendekati Saras yang berada di meja belajar".

"Nggak kok Rin, mau curhat masalah apa? Aku siap mendengarkan".

"Kamu tau kakak senior kita si kak Rio,?"

"Iya aku ngerti kak Rio, fakultas Ekonomi itu kan?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline