Lihat ke Halaman Asli

Baldus Sae

Dekonstruktionis Jalang

Memotret Indonesia dari Kamp Pengungsi Eks Timor Timur

Diperbarui: 8 September 2020   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

"Kami cinta Indonesia. Kami cinta Merah Putih. Cinta dan pengorbanan kami untuk Indonesia di balas dengan pembiaran seperti ini. Sudah 21 tahun kami hidup dan beranak pinak di atas penderitaan ini"

Di Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah lokasi pemukiman warga bernama pabrik kulit. Letaknya persis di belakang Alfamart. Sepelempar batu jauhnya dari jalan umum Timor Raya. 

Dikelilingi area persawahan yang membentang luas. Di lokasi ini terdapat sebuah kamp pengungsian yang sudah berusia dua dekade lebih. Sayang, tak banyak orang tahu tentang keberadaannya.

Pabrik kulit merupakan sebuah gedung bekas pabrik yang didiami oleh warga eks Timor Timur sejak tahun 1999. Di dalam gedung yang menyerupai rumah hantu inilah ratusan warga bertahan hidup. Kamp pengungsian ini jauh dari kata layak. Atap gedung tua itu sudah banyak yang tercopot. Dinding temboknya sudah banyak yang retak.

Sebenarnya mereka sudah tidak boleh disebut sebagai pengungsi. kata pengungsi sejatinya sudah tidak pantas dilabelkan kepada warga eks Timor-Timur yang sudah dua dekade ada di bumi Indonesia. 

Pada tanggal 22 Desember 2002 lalu, UNHCR telah mendeklarasikan cessation of status yaitu penghapusan status pengungsi eks Timor-Timur yang ada di Indonesia. 

Hal yang sama pula telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005. Namun demikian, nyatanya penghapusan status pengungsi itu tidak memberikan dampak yang lebih baik untuk kehidupan warga eks Timor-Timur.

Ketika berkunjung ke sana, kau tentu akan disambut senyum ramah anak-anak kurang gizi dan putus sekolah. "Di sini banyak anak yang putus sekolah kaka. Bagaimana mau sekolah, untuk makan sehari-hari saja kami susah setengah mati. Pilihan terakhir ya kami jual sayur", ungkap Kak Ramos.

"Kami tidak punya lahan untuk bertahan hidup. Tidak punya tanah untuk bangun rumah. Kaka lihat sendiri di dalam itu. Kami harus buat sekat-sekat untuk tiap keluarga. Satu keluarga ada yang punya tujuh sampai delapan anak dan bahkan sepuluh", lanjut Kak Ramos.

Mayoritas dari para penghuni kamp adalah petani yang kesehariannya menggantungkan hidup pada lahan garapan. Mereka menyewa lahan-lahan kosong milik warga lokal untuk menanam sayur. Ada juga yang menjadi buruh tani. Menggarap lahan sawah milik warga dengan sistem bagi hasil.

"Kalau musim panen kaka, kami biasa kumpul batang padi yang orang baru habis rontok, kami jemur lagi untuk ambil sisa-sisa bulir padi, itu kami pakai makan", jelas Ameta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline