Reforma Agraria sebenarnya bukanlah hal yang benar-benar baru, baik sebagai sebuah konsep politis maupun kebijakan teknis pemerintahan, karena hal ini telah dimulai dari zamannya Soekarno sering dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU No.1 Tahun 1961 tentang Land Reform.
Hanya, berdasarkan pengalaman pelaksanaannya, dalam perspektif sosiologis hal ini dalam belum maksimal menjelaskan dan memecahkan persoalan komunitas yang menjadi objek reforma agraria itu sendiri, yaitu rakyat atau lebih khususnya petani yang memerlukan lahan.
Reforma Agraria sendiri adalah sebuah upaya untuk mengatasi masalah ketimpangan struktur pemilikkan, penguasaan dan penggunaan tanah dan terjadinya konsentrasi asset hanya oleh segelintir orang yang kemudian tidak mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak sehingga diharapkan dapat mengatasi permasalahan ekonomis dan hukum terkait dengan pemanfaatan tanah dan kepastian hukum dalam kepemilikkannya.
Registrasi kadasteral pertama di Indonesia sendiri dilakukan oleh Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles yaitu pada tahun 1811-1816 khususnya di pulau Jawa.
Hal ini meletakkan dasar awal registrasi kadasteral nasional namun sayangnya sampai saat ini belum dilaksanakan sebuah registrasi kadasteral nasional yang berhasil membangun basis data pertanahan wilayah Indonesia.
Salah satu permasalahan pertanahan selama ini juga adalah begitu banyaknya sengketa pertanahan yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga peradilan umum yang ada.
Kalaupun ada yang bisa diselesaikan itu memakan waktu sangat lama karena pemahaman yang tidak komprehensif terhadap permasalahan tanah serta cenderung menciderai prinsip-prinsip keadilan.
Hal ini bisa dicarikan solusinya misalnya dengan adanya sebuah komisi independen (KNUP -- K) yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan pertanahan dengan cepat dan komprehensif. Dalam pandangan sosiologi, untuk mengatasi permasalahan atau sengketa pertanahan hal ini bisa lebih dikuatkan dengan adanya peradilan 'khusus' semacam peradilan agraria yang melibatkan tokoh-tokoh dan kearifan lokal terkait di masing-masing daerah.
Reforma agraria salah satunya diharapkan mampu menjawab permasalahan ketersediaan lahan bagi usahatani, sehingga redistribusi tanah menjadi sesuatu yang sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan.
Namun yang menjadi perhatian untuk dicegah adalah adanya peralihan tanah-tanah objek redistribusi tanah ini dari pemilikknya sehingga tidak lagi dimanfaatkan dalam sektor pertanian dan dikonversi pemanfaatannya untuk kepentingan-kepentingan lain di luar sektor pertanian sehingga masalah pengentasan kemiskinan khususnya bagi petani-petani gurem tidak tercapai.
Hal ini juga menjelaskan mengapa proses pensertifikatan massal terhadap lahan-lahan ini, meskipun itu sangat diperlukan, namun mengandung potensi tanah menjadi komoditas ekonomis yang kemudian dengan gampang diperjual-belikan, bahkan dijadikan collateral untuk mendapatkan pinjaman konsumtif bukan produktif.