Tuhan telah mati,
serpihan tubuhnya
telah berserakan di sepanjang pantai
tempat para pelacur, mengembara,
tersesat,
tempat cinta ditinggalkan,
dibakar,
tempat seekor kera melahap
jejak kaki lelaki itu.
Tuhan sudah mati.
Itu terjadi di semua sudut jalanraya.
Sebelum meninggal,
dia menangis.
Kesedihannya tidak ada batasnya.
Angin meniup janggutnya
yang sirna dalam awan harapan,
lalu hujan membuka pelupuk matanya
yang penuh jarak
dan berubah menjadi kubangan
kotor berdebu, lesu, membisu
dimana kata-kata terlupakan,
dimana sungai sedih, penuh air mata,
dimana kota dan desa semua rapuh,
terkutuk , dan sempah peradaban.
Tuhan sudah mati.
Semoga jiwamu beristirahat dengan tenang.
Kemudian hujan melelehkan matanya
yang jauh
dan mengalir ke
genangan air yang kotor dan berdebu
di mana kata-kata terlupakan,
di mana tidak ada mata air,
di mana kota tumbuh,
terkutuk perilaku cawe-cawe.
Tuhan sudah mati.
Semoga jiwamu selalu abadi tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H