Apa Itu Jagat Gumelar, Jagat Gumulung (2)
pendekatan Hidup manusia Jawa ada itu ada 3 perkara; {a] Wirya/Keluhuran; [b] Arto/Kekayaan kemakmuran, dan [c} Winasis /Ilmu Pengetahuan untuk memberikan tafsir hermeneutisnya;
Pada pandangan Jawa atau Indonesia Klasik semua logos didalam realitas dunia ini bersifat Dialektis antara dua hal yakni Jagat Gumelar, Jagat Gumulung. Tatanan Mikro Kosmos atau Jagat Gumulung atau Buwono Alit [mikrokosmos], disebut individu, pribadi atau keluarga atau wilayah Res privata, sedangkan Buwono Agung {makrokosmos/alam semeseta seluruhnya] atau Res Publica, masyarakat, bangsa negara, dan internasional [dunia]; mengalami perjumpaan dengan apa yang disebut Buwono Langgeng [abadi], atau Sang Waktu_ lahiriah batiniah_ ada menuju perjumpaan dengan 'Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal", atau "Batara Tunggal".
Lalu bagaimana interprestasi Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung ini dapat dipahami?
Untuk memahami Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung, akan meminjam pemikiran Henk Manschot, adalah Profesor Filsafat dan Etika dan berkomitmen untuk kehidupan yang lebih berkelanjutan. Pada tahun 2016 ia menerbitkan buku Tetap setia pada bumi .
Buku ini mencatat krisis ekologi (kegagalan Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung), memaksa umat manusia untuk secara radikal merusak kehidupan yang dipimpinnya dan memandang dunia modernnya. Hubungan manusia dengan bumi membutuhkan orientasi baru, di mana bumi tidak hanya sebagai sumber daya yang dapat dibuang, tetapi menempatkan batasan pada tindakan manusia. Dalam orientasi baru ini, bumi mengambil alih tempat sentral dari manusia, itulah sebabnya Manschot menyebut kerangka kerjanya 'ekologi'.
Henk Manschot adalah Profesor University of Humanistics di Belanda. Penelitiannya berfokus pada ekologi filosofis, interkoneksi antara manusia dan pembangunan berkelanjutan serta transformasi budaya modern mungkin cocok untuk memahami konteks filafat jawa tentang Jagat Gumelar, Jagat Gumulung. Henk Manschot pernah menjadi Presiden Socrates Foundation for Science and Culture, Wakil Ketua China-Europe Foundation (CE-DESD) dan Ketua dari Encounter of World Views Foundation, yang menyatukan para pemimpin politik, akademik, dan bisnis di seputar nilai-nilai tanggung jawab, kepemimpinan, dan pembangunan global.
Sementara Friedrich Nietzsche (1844-1900) mencintai alam dan perjalanan hariannya di Pegunungan Swiss dan Laut Mediterania sangat memengaruhi tulisannya, dan terutama bukunya yang paling terkenal, Thus Spoke Zarathustra. Dengan mengikuti sang filsuf dalam ocehan ini dan merenungkan interaksi mengejutkan Zarathustra (alter ego Nietzsche) dengan hewan-hewan yang ditemuinya dalam perjalanannya, Henk Manschot dengan cerdik menunjukkan bagaimana semua pengalaman ini tercermin dalam pemikiran sang filsuf tentang hubungan antara manusia dan Bumi. .
Bekerja di persimpangan filsafat dan studi lingkungan, Manschot menyajikan konsep kunci Nietzschean sebagai dasar dari 'seni hidup' ekologi untuk abad kedua puluh satu. Dalam kontribusinya yang unik di lapangan, ia memperkenalkan konsep 'terra-sophy', yang menggabungkan gagasan terra (bumi) dan sophy (kebijaksanaan), untuk menyatakan bahwa manusia harus menata kembali diri mereka sendiri seperti dalam hubungan timbal balik dengan planet.
Bagi Manschot, pemikiran Nietzsche dapat menginspirasi umat manusia untuk berpindah dari manusia ke hubungan yang berfokus pada Bumi ke dunia; pergeseran pemikiran yang akan sangat bermanfaat bagi generasi yang menghadapi krisis ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Tetap Teguh pada Bumi adalah buku yang menginspirasi setidaknya karena dua alasan. Pertama-tama, ini adalah buku yang sangat topikal dan relevan, yang mencoba memberikan kerangka pemikiran dalam menghadapi krisis ekologi saat ini. Manshot menggunakan cara baru dan segar dalam membaca karya filsuf Nietzsche, dan khususnya buku Thus speak Zarathustra (1885), sebuah karya puitis yang penuh dengan kata-kata mutiara dan kiasan Alkitab.