Pajak Pulsa, Paradoks pada Tax Ratio, Tax Compliance
Sekalipun Menteri keuangan mengeluarkan PMK Nomor 6 /PMK.03/2021, pada 22 Januari 2021 dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari pajak sudah dikeluarkan, pertanyaannya apakah bisa sukses dalam rangka mengatasi perilaku Penghindaran pajak (Tax Avoidance)? ;
Saya menduga pada banyak riset dan kajian bahwa Tax Avoidance banyak terjadi, dan selalu dilakukan oleh para WP atau Wajib Paja dengan berbagai macam cara atau dalam teori sebagaimana pemikiran Theory of Planned Behavior Icek Ajzen (1985) atau teori perilaku terencana.
Meskipun tindakan seperti ini tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketentuan hukum yang berlaku, karena dianggap praktik-praktik yang berhubungan dengan Tax Avoidance lebih kepada pemanfaatan celah-celah dalam Undang-Undang Perpajakan yang ada di Negara tempat berkedudukan badan usaha itu.
PMK Nomor 6 /PMK.03/2021, ada ide bagus dan patut didukung, tetapi secara umum berdasarkan data Data Penerimaan Pajak (Triliun Rupiah selama 2014-2019 ada gap besar antara "target vs realisasi";
Pada data 2014-2019 selalu terjadi realisasi penerimaan pajak lebih kecil dibandingkan target, itulah penyebab mengapa PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 muncul. Tetapi apakah PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 juga mengalami hal yang sama yakni terjadinya realisasi penerimaan lebih kecil dibandingkan target?
Penghindaran pajak (Tax Avoidance) yang saya maksud adalah, pada 10% (sepuluh persen) untuk Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer (lihat PMK Nomor 6 /PMK.03/2021, pasal Pasal 2 (Objek Pajak)-;
Indonesia dikaitkan dengan perilaku Penghindaran pajak (Tax Avoidance) dipahami secara tax ratio masih kecil dan tax compliance belum memenuhi target yang ditetapkan. Para wajib pajak yang belum membayar kewajiban perpajakannya dan adanya wajib pajak yang membayar pajak lebih kecil nilainya dari yang seharusnya dibayar. Berikut gambaran tax ratio dan tax compliance tahun 2014-2019.
Meskipun PMK Nomor 6 /PMK.03/2021 adalah kewajiban pada negara, saya rasa perlawanan berpotensi terus dilakukan. Perlawanan disini bisa dibedakan menjadi perlawanan pasif dan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi, sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan menghindari pajak.
Praktek wajib pajak dalam penghindaran pajak seperti melaksanakan pinjaman dalam jumlah yang besar agar biaya bunga pinjaman menjadi lebih besar padahal pinjaman tersebut tidak digunakan untuk menambah modal kerja untuk meningkatkan penjualan, pemberian tunjangan kepada karyawan dalam bentuk natura,meskipuntunjangan tersebut merupakan penghasilan bagi karyawannya tetapi dapat biayakan untuk mengurangi penghasilan.
PMK Nomor 6 /PMK.03/2021, mungkin bisa diakali oleh Wajib pajak badan usaha berusaha memanfatkan peraturan pemerintah Nomor 23 tahun 2018 dengan cara memecah--mecah peredaran usaha untuk memanfaatkan PPh Final dengan tarif 0,5% dari peredaran usaha yang masih dibawah 4,8 Miliar.